Jakarta – Berbagai tantangan masih menyelimuti perusahaan pembiayaan (multifinance) baik dari sisi internal maupun eksternal. Tantangan tersebut mulai dari resesi global, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), ancaman inflasi hingga kenaikan suku bunga acuan. Namun, diyakini tantangan-tantangan tersebut masih bisa dihadapi oleh industri multifinance.
Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi perusahaan pembiayaan agar bisa bertahan di tengah risiko-risiko tersebut. Apalagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator juga sudah melakukan perannya dalam mengawasi industri pembiayaan. Di mana OJK sendiri tengah memilah-milah mana perusahaan multifinance yang sehat. Sedangkan yang tidak sehat harus dibersihkan.
Berdasarkan data OJK, sejak periode 2017 sampai 2022 sudah menutup 51 perusahaan multifinance. Dengan adanya data tersebut maka menunjukkan bahwa seleksi pasar sudah terjadi di industri multifinance, dan diharapkan akan menyisakan perusahaaan-perusahaan yang lebih tangguh dan kuat. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menilai, faktor permodalan masih menjadi masalah utama perusahaan pembiayaan.
Ketua Umum APPI Suwandi Wiratno mengatakan, banyak multifinance dicabut usahanya karena faktor permodalan. Terlebih, pada Desember 2019 ada peraturan yang menyebutkan bahwa perusahaan multifinance harus memiliki modal minimum Rp100 miliar. Setelah bersih-bersih di industri multifinance, diharapkan perusahaan pembiayaan yang tersisa dapat menghadapi tantangan baru pasca pandemi Covid-19 yaitu ancaman inflasi global hingga daya beli yang menurun.
“Selama lima tahun sebanyak 51 multifinance dicabut izin usahanya. Tapi rata-rata perusahaan pembiayaan yang dulu modalnya dibawah Rp100 miliar belum bisa mengupgrade dirinya, bahkan harus dicabut izinnya berserta ada pelanggaran-pelanggaran rambu-rambu yang mana perusahan pembiayaan sudah semakin teregulasi,” ujar Suwandi dalam Executive Multifinance Forum yang digelar Infobank dengan tema “Tantangan dan Masa Depan Perusahaan Pembiayaan di Tengah Ancaman Resesi Global” Kamis, 15 September 2022.
Masifnya inflasi akibat kenaikan BBM yang menyebar ke segala sektor saat ini adalah sumber masalah utama pada pertumbuhan bisnis. Ancaman lonjakan inflasi pun berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. “Daya beli masyarakat masih jadi persoalan kami ke depan. Jadi persoalan daya beli ini yang harus disikapi lebih lagi ke depannya, walaupun kita lihat pemerintah sudah cukup proaktif menangani hal ini supaya tidak berdampak besar kepada perekonomian,” tambahnya.
Pelaku industri multifinance saat ini tengah menyoroti sejumlah hal dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Paling tidak ada dua hal utama yang disorot, yakni soal keharusan pinjam meminjam dalam mata uang rupiah, dan larangan Warga Negara Asing (WNA) menjadi pengurus multifinance.
Menurut Suwandi, salah satu yang menjadi sorotan pelaku industri adalah pasal yang berbunyi “Kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet kepada masyarakat”. Sejumlah industri multifinance sebenarnya sudah lumrah mendapatkan pinjaman dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing. Namun dalam penyaluran pinjamannya di dalam negeri tentu dalam rupiah.
Apalagi selama ini banyak investor asing yang tertarik berinvestasi ke bisnis multifinance di dalam negeri. Jika klausul dalam draft RUU P2SK tersebut lolos, dkhawatirkan malah menjadi langkah mundur bagi industri multifinance. Pelaku industri malah makin sulit mendapatkan pendanaan (funding), apalagi di tengah ketatnya pinjaman dari perbankan dalam negeri.
“Tadi disampaikan bahwa banyak investor asing yang tertarik. Sebenarnya yang diharapkan adalah bagaimana investor asing ini masuk, tapi bukan masuk dalam kompetisi itu malah menambah beban bagi masyarakat. Kalau bisa mendapatkan dana murah dari luar, artinya ini malah bisa membuat kami-kami harus bekerja secara efisien. Yang di dalam negeri, kalau dapat pinjaman dari dalam negeri untuk bagaimana kita bisa bersaing dalam pembiayaan. Pembiayaan tetap dalam rupiah memang. Itu yang diwajibkan oleh pemerintah,” tegas Suwandi.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan, RUU P2SK masih terbuka untuk didiskusikan. Minggu depan, rencananya DPR akan mengesahkan RUU tersebut sebagai inisiatif DPR, kemudian dikirim ke pemerintah untuk dibahas. Setelahnya, DPR bersama pemerintah akan melakukan pembahasan bersama. DPR RI menargetkan UU P2SK dapat dituntaskan di akhir 2022.
“Banyak isu yang saya kira harus kita cermati. Sebelum kita rumuskan kita akan undang seluruh stakeholder. APPI juga akan kita undang. Himbara kita undang. Kita akan matangkan lagi. Ini kan inisiatif DPR, kita belum terima draft dari pemerintah. Kan sebenarnya ada 2 pihak, karena omnibuslaw sektor keuangan ini inisiatif DPR, dari pemerintah nanti kita tunggu bagaimana formulanya,” kata Fathan.
Menurutnya, pihaknya akan terus berkonsolidasi dengan anggota Komisi XI DPR-RI dan pemerintah untuk menyelesaikan RUU P2SK di akhir tahun 2022. Namun di sisi lain, RUU P2SK ini, juga diharapkan dapat melindungi pelaku jasa keuangan ke depannya. Pihaknya juga berjanji tetap berkoordinasi dengan pelaku industri multifinance dalam perumusan RUU P2SK, dan menghasilkan suatu regulasi yang baik, sehingga DPR dan pemerintah tetap memberi support bagi industri multifinance agar tetap bertumbuh.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK, Bambang W. Budiawan berharap komposisi pendanaan dari perbankan akan terus menurun dan dapat memanfaatkan pendanaan dari investor luar negeri. Dengan demikian nantinya dalam UU P2SK, ada pengecualian bagi perusahaan pembiayaan untuk tetap mendapatkan pendanaan dari investor asing.
“Karena memang tidak semua investor-investor dalam negeri itu bisa menyerap atau mau menyerap. Justru dari luar ini banyak sebenarnya bagus kan kalo ada investor dari luar itu bank-bank besar gitu ya kasih pinjaman ataupun ada private-private equity di luar membeli daripada obligasi yang diterbitkan perusahaan pembiayaan, kan bagus,” ucap Bambang di diskusi yang sama
Ia juga menambahkan bahwa komposisi pendanaan perusahaan pembiayaan saat ini masih didominasi dari perbankan yang berada di angka 78% dan di tahun depan diharapkan dapat turun ke posisi 72%. “Jadi memang perusahaan pembiayaan harus cekatan untuk bagaimana menerbitkan produk funding itu menjadi penting dan dapat disampaikan melalui rencana bisnis, dan kita evaluasi salah satu itemnya itu selain rencana penyaluran adalah rencana pendanaan,” imbuhnya.
Selain itu, perusahaan pembiayaan seharusnya tidak hanya memikirkan sisi aktiva saja tetapi sisi liabilitasnya juga harus terus dijaga, agar perusahaan pembiayaan dapat menjadi pasar yang dapat disasar dan layak untuk diberikan pendanaan. Menurutnya pendanaan dari investor asing ini masih memiliki peluang yang cukup baik, terlihat dari beberapa multifinance yang telah berkolaborasi dengan asing yang menjadi acuan bagi perusahaan pembiayaan untuk dapat menjadi pemegang saham pengendali yang mayoritas maupun sebagai strategic partner.
Menyikapi hal tersebut, Alexander Tan CEO Maybank Finance sebagai pelaku industri multifinance yang hadir sebagai panelis mengharapkan RUU P2SK ini dapat memberikan perlindungan bagi perusahaan pembiayaan. “RUU P2SK diharapkan dapat memberikan dampak penguatan perlindungan kepada kami sebagai pelaku di industri jasa keuangan sehingga ada balancing dengan adanya perlindungan terhadap konsumen juga,” kata Alexander.
Senada dengan Alexander, Arief Prawira Direktur Utama PT Capella Multidana juga menambahkan, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perusahaan multifinance sudah makanan sehari-hari bagi industri pelaku jasa keuangan. “Menurut kami tantangannya sudah merupakan suatu tantangan yg sehari-hari kita rasakan, namun kita tetap menghadapi tantangan tersebut. Adanya RUU P2SK diharapkan bisa memperkuat dan memberikan perlindungan kepada pelaku industri keuangan,” imbuh Arif. (*)