Sunarso, Direktur Utama BRI; Mengejar Hasil Transformasi Culture dan Digital

Kendati dibesarkan sebagai corporate banker, ia mengaku pantas menjadi bankir perbankan mikro, karena lahir dari keluarga petani, tumbuh di desa, dan bergaul dengan orang-orang kecil.

 Oleh Ari Astriawan & Ayu Utami Saraswati

 Menjelang tutup tahun 2020, para eksekutif di industri perbankan belum bisa bersantai. Kendati 2021 dipandang akan lebih baik, tapi apa yang terjadi pada 2020 menjadi pelajaran penting karena pandemi COVID-19 membuat para bankir harus menata ulang strateginya. Senin sore, 21 Desember 2020, Sunarso, Direktur Utama (Dirut) Bank Rakyat Indonesia (BRI), memberi waktu bertemu Infobank di Gedung BRI I, Lantai 20, di sela-sela ia memimpin Rapat Kerja Nasional (Rakernas) BRI.

“Tahun 2021 kami lebih optimistis. Kami ini sedang melakukan rapat tapi tidak sekadar Rakernas. Hari pertama ini ada senior leader forum, di mana kami me-review transformasi BRI. Kami sesuaikan dengan tantangan hari ini. Tantangannya berubah, lingkungannya berubah sangat drastis dengan adanya pandemi COVID-19,” ujar bankir yang mengawali karier di Bank Dagang Negara (BDN) ini membuka obrolan.

Pandemi COVID-19 telah melumpuhkan sektor usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menjadi basis pasar BRI. BRI pun mencatatkan nilai restrukturisasi kredit terbesar sepanjang sejarah perbankan di Indonesia, yaitu senilai Rp209,4 triliun dari 2,9 juta debitur (per 11 Desember 2020). Menurut Sunarso, yang memimpin BRI sejak September 2019, BRI fokus pada strategi menyelamatkan UMKM yang menjadi fokus BRI dengan portofolio 80%.

Sejauh mana dampak pandemi COVID-19 terhadap kelanjutan kinerja BRI? Seperti apa hasil transformasi yang sudah digaungkan BRI setahun terakhir? Bagaimana transformasi BRI setelah kinerjanya disalip para pesaingnya? Apakah BRI memiliki passion untuk meraih kembali posisinya sebagai bank pencetak laba terbesar dan memiliki aset terbesar di Tanah Air? Berikut penjelasan Sunarso kepada Infobank. Petikannya:

Ke mana arah transformasi yang Anda jalankan di BRI? Apakah transformasi digital dan culture sudah sesuai dengan core business BRI di kelas mikro?

Transformasi BRI harus diarahkan kepada sustainable growth atau pertumbuhan yang berkelanjutan dari BRI itu sendiri. BRI ini bermain di UMKM, maka tantangannya adalah menghadapi operational cost dan risk yang tinggi. Tantangannya adalah menurunkan cost yang tinggi ini. Oleh karena itu, transformasi harus diarahkan ke transformasi digital. Dengan digital, kami bisa menurunkan operational cost sekaligus operational risk. Transformasi digital diarahkan pada dua hal. Mengarahkan business process menjadi lebih digital agar lebih efisien. Sedangkan dengan mendigitalkan ekosistem, kami berharap bisa menemukan business model baru yang bisa menciptakan value baru. Dengan cara seperti itu, kami bisa tumbuh berkelanjutan.

Sasaran pertumbuhan kami ada dua. Pertama adalah nasabah UMKM yang sudah ada di BRI yang kami dorong untuk naik kelas dengan melakukan berbagai program pendampingan, pembinaan, baik secara digital maupun konvensional. Kedua adalah sumber pertumbuhan baru dari lower segment, di bawah mikro atau ultramikro, bahkan kami masuk ke unbanked population.

Per September 2020 porsi segmen UMKM BRI dari total portofolio itu sudah mencapai 86,5%. Ini adalah pertama kalinya kami bisa menyentuh angka ini dalam beberapa tahun terakhir. Kami akan pertahankan pencapaian ini dan akan kami dorong lagi.

 Sejak memimpin BRI, Anda mengusung dua tema besar, yaitu melakukan transformasi digital dan transformasi kultural. Mengapa perlu dilakukan dan bagaimana hasilnya?

Pada 2016 saya bersama dirut (Asmawi Syam) memutuskan untuk merespons strategic risk yang mungkin timbul di masa depan. Kami harus menjawabnya dengan transformasi. Memang tidak mudah. Transformasi akan sukses apabila keempat hal dipenuhi. Pertama, objek yang ditransformasikan jelas. Tidak boleh berubah-ubah. Kedua, harus ada pemimpin yang menggerakkan. Ketiga, seluruh anggota tim harus menghendaki transformasi tersebut. Keempat, transformasi itu harus menjadi sistem, ditulis dalam bentuk blueprint transformasi. Karena harus ditulis, kami harus punya metodologi untuk menyusun blueprint itu.

 Lalu, apa saja hasilnya?

BRI memang mayoritas portofolionya di UMKM. Karena operational cost-nya tinggi, kami harus digital. Contohnya, ketika menangani end-to-end kredit mikro, prosesnya butuh waktu dua minggu. Bagaimana kami bisa mengurangi waktu proses tanpa mengurangi gaji karyawan. Maka, gajinya tetap dan produktivitasnya yang ditingkatkan, supaya rate-nya turun. Kami digitalkan prosesnya dengan aplikasi yang bernama BRISpot yang kami buat di 2016 dan 2017. Tujuannya sederhana, mempercepat proses kredit mikro dari dua minggu menjadi dua hari. Dulu booking kredit mikro setiap bulannya hanya Rp2,5 triliun, sekarang sudah Rp4 triliun per bulan.

 Lalu, bagaimana dengan kinerja BRI yang merosot, loan at risk-nya sangat tinggi, dan posisinya sebagai bank pencetak laba terbesar maupun aset terbesar direbut pesaing?

 Tahun ini, karena wabah, ekonomi tumbuh negatif. Saya katakan bahwa tahun ini fokus kami adalah mencari selamat dulu daripada mengejar untung. Kalau sekarang kami mau mencari laba seperti tahun lalu, ya bisa saja, tapi kami melupakan keselamatan karena tidak mencadangkan. Ini UMKM mau mati semua, maka kreditnya kami restrukturisasi dan yang harusnya bayar bunga kami tunda, yang harusnya bayar pokok juga kami tunda. Kami restrukturisasi dan cadangkan.

 Tujuannya apa?

Kalau sampai restrukturisasi ini gagal, kami masih punya cadangan. Tapi, persoalannya tidak sesederhana itu. Bank yang biasanya labanya terbesar, tiba-tiba harus berani membukukan laba yang lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kami lebih hati-hati dalam mengelola balance sheet untuk keselamatan BRI dan perekonomian nasional ke depan. Jangan sampai sembarangan tidak mencadangkan, dan ternyata NPL sesungguhnya lebih besar dari apa yang terlihat. Termasuk di loan at risk, korporasi, dan yang terjadi sebelum COVID-19. Jadi, pendekatan dalam situasi seperti sekarang dibutuhkan bankir andal dengan kualitas risk management yang baik.

 Dari total kredit yang direstrukturisasi BRI, apakah ada asesmen kira-kira berapa persen yang akan menjadi kredit macet?

Kami monitor tiap bulan. Dari yang kami restrukturisasi tiga bulan, ketika jatuh tempo ternyata yang tidak bisa diselamatkan 2,5%. Kemudian, yang kita restrukturisasi enam bulan, kami khawatirkan lebih besar lagi yang tidak bisa diselamatkan, ternyata sekitar 2,5%. Alhamdulillah. Maka, cadangan kami sekarang jauh di atas kebutuhan minimum. Kami punya cadangan 232% terhadap total NPL. Kapan saja itu bisa diambil sebagai laba, kalau situasinya sudah aman.

Bicara transformasi, bagaimana meyakinkan puluhan ribu karyawan yang values dan culture-nya sudah lama terbangun dan itu menjadi kekuatan BRI selama ini? Apakah mendesak untuk diubah mengingat pada saat Anda memimpin, posisi BRI sangat kuat dan diakui publik?

Sekarang saya tanya, Infobank setuju tidak kalau BRI transformasi? Jadi, kalau setuju artinya membiarkan value yang sangat kental dengan mikro seperti yang dulu, dan tidak melakukan antisipasi ke depan, itu sama saja dengan bunuh diri.

Apa karena saya masih dipandang sebagai orang luar? BRI adalah perusahaan yang sejak dulu dikelola secara profesional dan terbuka. Maka, banyak pendahulu saya di BRI, sebelum masuk BRI sudah malang melintang di perusahaan-perusahaan lain. Berdasarkan definisi dan kenyataan ini, saya sebenarnya tidak berbeda. Saya adalah orang BRI. Tentang culture, yang katanya sudah sangat mendarah daging dan kalau diubah sangat mengkhawatirkan. Saya tidak mau pakai perasaan atau feeling. Saya harus melakukan fact finding.

 Situasi eksternal berubah sangat cepat. Ada fintech, dan sekarang ada neo bank yang beroperasi tanpa cabang. Bagaimana BRI menghadapi perubahan dengan 10.000 jaringan kantor yang dimiliki dan puluhan ribu pegawai? Apakah BRI akan beradaptasi, misalnya memiliki neo bank juga?

Tuntutan neo bank itu harus kami respons. BRI yang jaringannya banyak, kami harus transform. Jaringan kami harus disesuaikan. Jaringan fisik tetap diperlukan, omnichannel harus dikembangkan, dan kami harus mulai benar-benar menjalankan economic sharing. Kami punya 500.000 agen BRILink. Itu contoh bahwa untuk membuka cabang baru, tidak perlu investasi sendiri. Cukup memberdayakan warung di desa-desa, di gang-gang. Kami jadikan agen. Itu sudah berfungsi menjadi cabang BRI.

Lalu, people-nya? ‘Kan, nanti semuanya digital. Tidak serta-merta masyarakat berubah menjadi digital. Cabang masih diperlukan orang. BRI harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Tapi, tetap ada waktu untuk transisi sehingga kalaupun nanti semua proses menjadi digital, jaringan menjadi online, maka people yang banyak ini harus kita realokasikan untuk mengajari masyarakat bertransaksi secara digital. Sebut saja sebagai penyuluh-penyuluh digital, misalnya, yang juga menjadi pembina, pembimbing UMKM. Maka, kesimpulannya, kami akan men-transform jaringan BRI dan transaksinya secara digital, tapi tidak akan mem-PHK karyawan.

Posisi sebagai bank terbesar sudah diambil lagi oleh Bank Mandiri. Apakah sebagai leader, Anda punya passion bahwa ke depan BRI harus kembali menjadi yang terbesar atau pencetak laba terbesar?

Saya sadar, saya ini CEO. Tugas CEO adalah meng-create value. Bahwa value itu di-create bisa lewat aset, pertumbuhan aset, pertumbuhan profit, atau faktor-faktor keuangan yang lain. Tapi, yang terpenting adalah create value. Kalau create value ternyata mengharuskan saya lebih konsentrasi pada environment, social, dan governance. Maka, saya akan create value dengan nilai-nilai sosial. Dan, itu sekarang mulai dihargai oleh investor. Tidak harus melalui aset.

Jadi, tidak ada urusan, harus mempertahankan aset terbesar atau tidak, yang penting value yang kami create. Aset terbesar, kalau tidak bisa memberikan manfaat untuk stakeholder buat apa? Kredit terbesar, kalau kami tidak bisa memberikan manfaat untuk stakeholder buat apa? Tapi, kami harus sadar, create value itu antara lain bisa lewat pertumbuhan aset, pertumbuhan kredit, pertumbuhan laba. Tapi, buktinya laba turun kok value-nya naik? Ini terbukti sekarang. Harga saham BRI naik. Ini ‘kan contoh bahwa kami menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang baik. Itu direspons baik oleh masyarakat dan pemegang saham. Kalau BRI memberi keuntungan untuk investor, kami jadikan masyarakat sebagai investor. ‘Kan ada nanti di titik-titik tertentu, yang membeli saham BRI itu UMKM-UMKM milenial. Maka, apa pun value yang di-create oleh BRI, akan dinikmati oleh UMKM.

Seperti apa business plan 2021?

Saya kira tahun 2021 mood-nya masih krisis. Maka, fokus kami adalah memperkuat diri. Kami tidak akan agresif mengejar laba. Kami akan tetap menyiapkan fundamental supaya kami bisa berkompetisi secara sehat pada new normal nanti. Tahun 2021 kredit kami usahakan bisa tumbuh 7%-8%.

Bagaimana dengan laba?

Pasti lebih baik daripada tahun ini. Tapi, laba kami masih belasan triliun dalam situasi sekarang ini sudah sangat baik, di mana tidak mengurangi hak apa pun dari stakeholder. Jadi, tahun depan pasti lebih baik, tapi kalau dibandingkan dengan sebelum pandemi COVID-19, tidak fair. Menurut saya, nanti setelah fundamental baru dipersiapkan, baru kami bisa tumbuh labanya kembali ke sebelum COVID-19.

Berarti 2022 bisa kembali menjadi bank dengan laba terbesar lagi?

Kalau mau. Menjadi laba terbesar itu gampang. Main-main saja di pencadangan, laba sudah terbesar. Bunga yang akan dibukukan ke depan, diambil hari ini, itu bisa kok jadi laba terbesar. PSAK-nya membolehkan, ketentuan akuntansinya membolehkan. Tapi, saya karakternya tidak seperti itu. Laba yang sudah diambil ya harus kami tutup sekarang. Justru biaya yang akan datang harus dibebankan sekarang supaya tidak menyulitkan di kemudian hari. Saya memang tidak terlalu suka laba. Saya mau create value dengan men-drill value yang sebenarnya.

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *