Jakarta – Industri BPR di Maluku diwakili dua BPR. Meski banyak pesaing, keduanya tetap bertahan. Bahkan, salah satunya mampu berkembang menjadi BPR raksasa, dengan aset lebih dari Rp1 triliun. Seperti apa perkembangan industri BPR di Maluku?
Hingga awal 2019, Pulau Jawa dan Bali masih mendominasi jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) di Indonesia, secara kelembagaan. Itu artinya, sebaran BPR yang ada di Tanah Air masih terkonsentrasi di wilayah tertentu dan belum merata.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Januari 2019, BPR yang beroperasi di Pulau Jawa dan Bali sebanyak 1.102 BPR atau 69% dari total populasi BPR di Indonesia, sedangkan 31% sisanya atau sebanyak 495 BPR tersebar di luar Pulau Jawa dan Bali.
Bank rural dengan jumlah minim sebagian besar terletak di provinsi-provinsi di wilayah timur Indonesia. Salah satunya Maluku. Industri BPR di provinsi yang dipimpin Murad Ismail sebagai gubernur ini hanya dihuni oleh dua BPR. Keduanya adalah BPR Modern Express yang beralamat di Kota Ambon dan BPR Artha Tual yang berada di Kabupaten Maluku Tenggara.
Kedua BPR tersebut harus bersaing dengan bank umum, termasuk bank milik pemerintah daerah yang juga bermukim di Maluku. Apalagi, “makanan” BPR kini juga dilahap bank umum karena tuntutan porsi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) oleh regulator. Di lain sisi, perkembangan financial technology (fintech) seakan menantang BPR untuk beradu cepat menggaet calon debitur di daerah terpencil.
Dampak dari persaingan merebut pasar pun mulai terlihat. Penyaluran kredit ke pelaku usaha mikro di Provinsi Maluku mengalami kenaikan. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Bank Indonesia (BI) per Februari 2019 menunjukkan, kredit UMKM di Maluku pada triwulan keempat 2018 terpantau meningkat menjadi 12,39% secara tahunan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh 11,31%.
Meningkatnya persentase kucuran kredit ini seiring dengan penyaluran kredit duo BPR di Maluku yang juga ikut meningkat. Laporan Keuangan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, penyaluran kredit BPR Maluku tumbuh 11,85% per 2018. Sementara, aset total kedua BPR di Maluku naik 9,99% menjadi Rp1,96 triliun. Perolehan ini pun lebih tinggi ketimbang pertumbuhan aset industri BPR nasional yang sebesar 7,74%.
Bahkan, salah satu BPR di Maluku, yakni BPR Modern Express, mampu berkembang menjadi BPR raksasa. Pada September 2018 BPR ini memiliki total aset Rp1,89 triliun atau naik 14,80%, berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI).
Direktur Utama BPR Modern Express, Vronsky C. Sahetapy, ketika ditemui Infobank, mengungkapkan bahwa fokus pada sektor konsumtif menjadi hal yang dilakukan perusahaan yang dipimpinnya selama setahun belakangan. “Strategi kami, portofolio yang paling besar main di sektor konsumtif. Saingannya dengan bank pemerintah, bank daerah. Jadi, bagaimana kami bekerja sama dengan pemerintah daerah dan kinerja pasokan kami harus kuat untuk pasar yang baik,” ujarnya, April lalu.
Vronsky tidak menampik bahwa saat ini BPR-BPR di Maluku sedang menghadapi persaingan yang sangat ketat. Namun, ia optimistis BPR Modern Express bisa mencapai target pertumbuhan rata-rata di atas 10% pada 2019. “Dulu ‘kan bank daerah dan bank umum punya makanan sendiri. Kalau sekarang semua bank umum, pelat merah, swasta masuk ke sektor konsumtif. Jadi, ya saingan makin ketat. Tapi, kami masih bisa bersaing dan pertumbuhan masih tercatat,” tambahnya.
Sayangnya, tidak seperti BPR Modern Express yang mencetak angka positif, kinerja keuangan BPR Artha Tual justru cenderung menurun per September 2018. Aset, kredit, dan dana pihak ketiga (DPK) BPR ini tercatat tumbuh minus. Menurut Vronsky, hal ini membuat BPR yang dipimpinnya tidak memiliki lawan main satu kelompok serta berakibat enggannya investor masuk ke Provinsi Maluku.
“Sebetulnya pemerintah daerah sudah berencana, tapi mungkin BPR Modern Express sudah tidak ada lawan. Investor mau masuk juga ya sudah agak repot. Karena, pangsa pasar di Maluku, BPR Modern Express sudah bersaing. BPR yang satunya (BPR Artha Tual) asetnya tidak sampai Rp10 miliar,” katanya.
Sementara itu, saat ini OJK sedang gencar mendorong BPR untuk memenuhi kewajiban modal inti minimum sebesar Rp6 miliar sesuai dengan Peraturan OJK (POJK) Nomor 5/POJK.03/2015. Ketentuan ini harus dicapai hingga akhir 2019. Jika tidak, OJK akan mewajibkan BPR terkait untuk merger.
Ayahandayani K., Direktur Penelitian dan Pengaturan BPR, Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK, mengatakan bahwa per Januari 2019 masih ada BPR di klasifikasi BPRKU 1, yang memiliki modal inti kurang dari Rp6 miliar, yakni sebanyak 722 BPR.
Menurutnya, BPR harus memperhatikan empat hal jika ingin menjawab tantangan industri BPR kini, yaitu menerapkan manajemen risiko, meningkatkan standar TI, tata kelola, dan laporan kepada OJK. Namun, pemenuhan keempat hal itu butuh modal besar. Maka, merger dan mengundang investor baru merupakan strategi yang dapat dilakukan.
“Pada akhir 2019, kalau ternyata tidak memenuhi (ketentuan) modal inti, kami akan batasi ruang usaha dan perluasan jaringan kantornya, kemudian kalau tidak mampu lakukan (pemenuhan) ketentuan modal inti, mereka harus siap-siap merger dengan BPR lain,” tegas Ayahandayani, di Bandung, bulan lalu.
OJK akan merilis aturan mengenai penggabungan atau merger BPR. Aturan tersebut dijadwalkan akan segera diluncurkan. Aturan itu berisi tentang penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan BPR yang dimaksudkan untuk memperkuat BPR. Ayu Utami Saraswati
Profil Industri Perbankan di Maluku
Jumlah kantor bank umum 142
Jumlah BPR 2
Jumlah kantor BPR 19
Total aset Rp21,20 triliun
DPK Rp13,61 triliun
Kredit Rp14,99 triliun
Ket: data per Maret 2019
Sumber: Biro Riset Infobank
* Artikel ini telah terbit di Majalah Infobank, No.493, edisi Juni 2019.