Tak Ingin Krisis Membesar, Hal Ini Kudu Diperhatikan Dalam Berkomunikasi

Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Priyanto Budi Nugroho, pada acara talkshow berjudul ‘How to Manage Crisis Communication in Banking Industry’ yang diadakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bekerja sama dengan Infobank Media Group di The Westin Jakarta, Selasa (12/9). (Foto: Dok. TF/Zul)

Jakarta – Ilmu dan strategi komunikasi adalah hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apalagi, di zaman digital dan keterbukaan informasi seperti sekarang, memiliki ilmu komunikasi yang handal, merupakan hal yang vital. Ilmu komunikasi yang baik bisa membantu kita dalam menangkal berbagai isu negatif yang dapat merugikan kita.

Konsep ini ternyata juga berlaku untuk pengelolaan bisnis, termasuk salah satunya bagi industri lembaga keuangan. Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Priyanto Budi Nugroho, membeberkan, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi pada konteks profesional di industri keuangan. Poin-poin ini bakal menciptakan komunikasi yang lebih efisien dan efektif.

Pertama, pahami bahwa tujuan komunikasi adalah untuk menyebarkan kejelasan agar masyarakat tenang. Priyanto ungkapkan jika segenap tim manajemen perusahaan atau lembaga perlu memahami bahwa goal dari komunikasi itu bukanlah untuk menambah kebingungan di masyarakat.

“Sehingga purpose dari komunikasinya harus diset dulu oleh otoritas. Mau ngapain ini. Kalau masih ada yang belum jelas, maka perlu direnungkan dulu. Itulah mengapa kadang-kadang butuh waktu. Karena kalau kita responsif, kok yang keluar malah tidak konsisten ini dengan yang lain, sehingga malah menimbulkan keraguan,” ucap Priyanto pada acara talkshow berjudul ‘How to Manage Crisis Communication in Banking Industry’ yang diadakan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bekerja sama dengan Infobank Media Group di The Westin Jakarta, Selasa, 12 September 2023.

Kedua, tetapkan apa yang ingin dikomunikasikan. Untuk memahami apa yang ingin dikomunikasikan, ia sampaikan bahwa siapa yang paling terdampak harus diidentifikasi terlebih dulu.

“Misalnya, ada bank yang kurang beruntung, lalu dilikuidasi oleh LPS. Yang paling terdampak siapa, tentu nasabah-nasabah ritelnya. Nah, penjelasannya seperti apa. LPS akan mensosialisasikan bahwa oke bapak ibu bank ini memang mengalami masalah, tapi jangan takut, simpanan bapak ibu di bank itu akan kembali cepat. Simpanan yang seperti apa, yang hingga Rp2 miliar dan tentu lembaga banknya harus terdaftar di LPS. Selain itu, tingkat suku bunganya sesuai seperti yang ditetapkan LPS, serta bapak ibu tidak melakukan fraud. Maka, prosedurnya seperti ini,” terangnya.

Ia juga menyampaikan bahwa sebuah studi yang ditujukan untuk kasus kolapsnya SVB di Amerika Serikat (AS), membuktikan jika pengetahuan masyarakat akan adanya simpanan yang dijamin itu turut menenangkan masyarakat atau membantu mengisolasi meluasnya dampak negatif yang ada.

Ketiga, speak with one voice. Yang berarti antara otoritas seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), itu perlu memiliki pesan yang sama yang disampaikan ke masyarakat. Hal ini juga ikut membantu menenangkan masyarakat. “Jangan yang di sana bilang begini. Yang di sini bilang begitu.”

Keempat, prepare well atau persiapkan segala sesuatunya secara matang sebelum berkomunikasi. Dan kelima, tidak boleh over promise atau memberikan janji berlebih.

“Karena masalahnya kan dinamis. Jadi, bisa dikatakan dengan kalau ini membaik, maka langkah ini akan ditempuh, dan harapannya akan begini. Namun, kita siapin nanti langkah selanjutnya kalau realisasinya tak terwujud, karena kalau respons masyarakat berbeda, kita perlu mengambil langkah lainnya. Makanya, sering ada yang namanya kebijakan satu paket,” pungkas Priyanto.

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *