Jakarta – Pada 14 Juli 2019, Presiden terpilih Joko Widodo menyampaikan pidato politik yang berisi lima program kerja pemerintah yakni melanjutkan pembangunan infrastruktur, mengundang investasi, mereformasi birokrasi agar aparat sipil negara memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan global yang sangat cepat, penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran. Tulisan ini fokus untuk meningkatkan investasi seluas-luasnya dari luar dan dalam negeri untuk membuka lapangan kerja.
Bagaimana perkembangan investasi selama ini? Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa realisasi investasi kuartal II-2019 mencapai Rp 200,5 triliun atau naik 13,7% year on year (yoy). Namun secara kuartalan, angka itu hanya naik tipis 2,8%. Realisasi investasi itu terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 95,6 triliun atau naik 18,6% (yoy) dan Penanaman Modal Asing (PMA) Rp 104,9 triliun atau naik 9,6% (yoy) (Harian Kontan, 31 Juli 2019).
Aneka Langkah Strategis
Lantas, langkah strategis apa saja yang patut diambil untuk menggeber investasi? Pertama, Global Competitiveness Report yang diterbitkan World Economic Forum menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 45 dari 140 negara pada 2018. Competitiveness Rank Indonesia rata-rata mencapai 46,50 dari 2017 hingga 2018 dengan poin paling tinggi 55 pada 2009 dan paling rendah 34 pada 2015.
Apa itu Global Competitiveness Index? Global Competitiveness Index merupakan penilaian tingkat seberapa kompetitif negara-negara di dunia dalam mendukung iklim investasi. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia masih di bawah Singapura (peringkat 1), Malaysia (25) dan Thailand (38). Tetapi peringkat Indonesia berada di atas peringkat Filipina (56), Brunei (62) dan Vietnam (77).
Kedua, oleh karena itu Indonesia harus terus menerus memperbaiki kemudahan dalam melakukan bisnis (the ease of doing business) yang kini berada di peringkat 73. Peringkat dalam berbisnis Indonesia menipis dari 72 pada 2017 menjadi 73 pada 2018. Harap catat bahwa peringkat Indonesia mencapai rata-rata 109,45 dari 2008 sampai dengan 2018 yang mencapai puncaknya 129 pada 2008 dan rekor paling rendah (semakin rendah semakin baik) 72 tercipta pada 2017.
Sesungguhnya, terdapat beberapa hambatan yang mendorong investor asing menunda investasi di Indonesia. Katakanlah, seringnya demonstrasi yang berbau politik. Sudah barang tentu, banyaknya demonstrasi akan mengganggu laju pemasaran dan penjualan produk berupa barang dan jasa. Apalagi seringnya demonstrasi yang menuntut kenaikan gaji yang berarti akan menaikkan biaya produksi operational cost) bagi perusahaan.
Itu semua merupakan faktor ketidakpastian (uncertainty) bagi investor asing untuk masuk menanamkan modal di Indonesia. Maka tidak mengherankan ketika banyak perusahaan asing memindahkan pabriknya dari Indonesia ke negara lain yang lebih menjanjikan kepastian keamanan, perburuhan dan hukum.
Untuk itu, Indonesia wajib terus mendorong daya saing dalam melakukan bisnis. Bagaimana caranya? Kementerian Tenaga Kerja harus mampu menjadi penengah yang adil antara pengusaha dan karyawan sehingga demonstrasi untuk menuntut kenaikan gaji atau upah minimum provinsi dapat ditekan serendah mungkin. Dengan demikian, bisnis dapat tetap berjalan lancar yang akan menguntungkan baik bagi perusahaan maupun karyawan.
Ketiga, selain itu, pemerintah perlu melakukan revitalisasi atau mengatur kembali semua aturan (deregulasi) yang kurang mendukung kemudahan melakukan bisnis di Indonesia. Selama ini, 16 Paket Kebijakan Ekonomi yang telah diterbitkan pemerintah mulai 2015 belum begitu nendang atau belum mampu mengangkat investasi nasional secara signifikan.
Untuk itu, pemerintah perlu mengevaluasi Paket Kebijakan Ekonomi tersebut terutama terkait dengan peningkatan investasi ke depan. Sudah semestinya, industri bukan hanya padat modal (capital intensive) melainkan juga padat karya (labor intensive) untuk menciptakan dan menyerap banyak kesempatan kerja.
Keempat, pemerintah memang telah memberikan beberapa insentif fiskal berupa pemotongan tarif pajak untuk membangkitkan sekor properti yang sedang termenung lesu. Sebut saja, tarif pajak penghasilan (PPh) hunian mewah dipangkas dari 5% menjadi 1%. Batasan nilai hunian mewah yang terkena pajak penghasilan juga dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Insentif fiskal itu tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 Tahun 2019.
Selain itu, pemerintah telah meningkatkan batasan nilai hunian mewah kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) 20% menjadi Rp 30 miliar. Penurunan
PPh dan peningkatan batasan nilai kena PPnBM itu bertujuan untuk mengurangi harga hunian mewah. Artinya, masyarakat kelas menengah-atas diharapkan dapat ikut menikmatinya. Lebih dari itu, pemerintah juga sudah menyediakan insentif bagi hunian menengah-bawah berupa pemangkasan pajak Pajak Penambahan Nilai (PPN) bagi rumah bersubsidi dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi 2,5%.
Sejauh mana insentif itu telah memberikan kontribusi bagi perkembangan sektor riil? Statistik Ekonomi dan Keuangan yang dterbitkan oleh Bank Indonesia (BI) pada medio Juli 2019 menunjukkan bahwa kredit properti tumbuh 17,56% dari Rp 817,59 triliun per Mei 2018 menjadi Rp 961,19 triliun per Mei 2019. Angka itu merupakan sinyal bahwa sektor properti mulai bergairah di tengah ekonomi yang kurang sakatonik ini.
Total kredit properti Rp 961,19 triliun tersebut meliputi kredit konstruksi, real estate dan KPR dan kredit pemilikan apartemen (KPA) dengan rincian berikut. Kredit konstruksi tumbuh tertinggi 28,08% dari Rp 258,68 triliun menjadi Rp 331,31 triliun (dengan kontribusi 34,47% dari total kredit properti).
KPR dan KPA menyusul dengan pertumbuhan 13,44% dari Rp 430,42 triliun menjadi Rp 488,27 triliun. Walapun pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan dengan kredit konstruksi, tetapi nominal KPR dan KPA telah memberikan kontribusi paling tinggi 50,80%. Posisi terakhir ditempati kredit real estate yang tumbuh 10,23% dari Rp 128,48 triliun menjadi Rp 141,62 triliun (kontribusi 14,73%). Secara ringkas, data itu menegaskan kinerja sektor properti yang mulai bangkit.
Jangan lupa bahwa sektor properti mampu mendorong puluhan bisnis ikutan lainnya seperti pasir, batu bata, batu kali, besi beton, teralis, genteng, cat, aneka asesori rumah bahkan mebel. Dengan bahasa lebih bening, sektor properti mampu menyerap jutaan tenaga kerja. Terlebih ketika pemerintah sanggup melaksanakan Program Sejuta Rumah terutama bagi rumah bersubsidi.
Kelima, pemerintah pun dituntut untuk mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM). Pemerintah dapat mengaktifkan kembali Balai Latihan Kerja (BLK) untuk menampung SDM tingkat menengah bawah dengan gratis atau dengan biaya rendah. Hal itu bertujuan untuk menaikkan daya saing SDM sekaligus produk (barang dan jasa).
Keenam, ingat senantiasa bahwa risiko negara (country risk) merupakan salah satu pertimbangan bagi investor asing. Oleh karena itu, pemerintah perlu meningkatkan peringkat risiko negara supaya semakin rendah. Mengapa? Karena makin rendah risiko negara, investor akan semakin melirik Indonesia. Apa itu risiko negara? Risiko negara merupakan suatu cara pengukuran mengenai tingkat ketidakpastian politik dan ekonomi dalam suatu negara yang dapat berdampak pada nilai pinjaman dan investasi di negara tersebut (Alan C. Shapiro, 1998).
Untuk menghasilkan tingkat risiko negara, lembaga pemeringkat mengelompokkan komponen risiko negara kedalam tiga risiko politik, ekonomi dan finansial. Masing-masing kategori risiko itu memiliki kontribusi 50% untuk politik, 25% masing-masing untuk ekonomi dan finansial. Artinya, risiko politik merupakan faktor dominan dalam penilaian risiko negara. Tingkat risiko negara yang terdiri dari risiko amat rendah, rendah, moderat, tinggi dan amat tinggi itu memberikan gambaran yang lebih obyektif mengenai kondisi suatu negara. Kini Indonesia berada dalam peringkat risiko sedang (moderate country risk).
Oleh karena itu, pemerintah wajib memperbaiki ketiga risiko politik, ekonomi dan finansial dengan meningkatkan masing-masing komponen risikonya. Tegasnya, pemerintah perlu menggenjot komponen risiko politik seperti stabilitas pemerintahan, profil investasi, tingkat korupsi, peran militer dalam politik, hukum dan ketertiban sosial, tingkat demokratisasi dan kualitas birokrasi.
Komponen risiko ekonomi antara lain pendapatan per kapita, pertumbuhan produk domestik bruot (PDB) riil, inflasi tahunan, tingkat keseimbangan APBN dan transaksi berjalan. Untuk komponen risiko finansial seperti rasio utang luar negeri terhadap PDB, debt service ratio, rasio transaksi berjalan dengan ekspor barang dan jasa, cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar. Penilaian itu juga menjadi pertimbangan bagi lembaga pemeringkat terkemuka seperti S&P, Moody’s atau Fitch Rating untuk menetapkan peringkat suatu negara.
Dengan aneka langkah strategis demikian, investasi amat diharapkan dapat lebih berkembang. Investasi merupakan salah satu sektor pembentuk pertumbuhan ekonomi nasional.
Oleh Paul Sutaryono, Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI