EKONOMI Indonesia sedang dalam ujian berat. Gara-garanya ekonomi global yang melambat dan harga komoditas yang turun. Neraca perdagangan mengalami defisit besar; penerimaan negara melambat. Dalam Sidang Kabinet Terbatas bulan lalu, (Juni 2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tampak kecewa dengan kinerja ekonomi yang lambat.
Kata Presiden, kinerja investasi dan perdagangan internasional mengecewakan. Padahal, tegas Presiden, dua hal itu merupakan kunci utama untuk menekan defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.
Jika melihat harga komoditas yang fluktuatif dan cenderung turun, maka ekonomi di dalam negeri juga ngeri-ngeri sedap. Pertumbuhan ekonomi tak akan lebih besar dari pada 5,2% dan defisit neraca pembayaran bisa jadi menembus angka 2,5%-3%. Dan, kabar dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang akhir tahun lalu ngotot ingin kredit tumbuh 10%- 12%, kini OJK memangkas target kredit menjadi 9%- 11%.
Sikap OJK memangkas kredit ini karena merespon rencana bisnis bank (RBB) yang juga menurunkan target kredit. Cerita menjadi lain setelah pemilu capres ini. Kini Presiden Jokowi pun ketika rapat koordinasi terbatas tampak kecewa dengan kinerja ekonomi yang lambat. Presiden mendesak para menteri Kabinet Kerja untuk bekerja cepat merumuskan kebijakan konkret untuk mempermudah investasi masuk ke Tanah Air dan meningkatkan ekspor.
Hal lain yang perlu digarisbawahi, selama lima tahun sudah banyak paket diluncurkan. Juga stimulus perpajakan yang tidak sedikit. Namun, tetap saja ekspor sulit dilakukan dan investasi tak semeriah yang diharapkan. Sudah waktunya ada kesadaran untuk tetap menjaga komitmen dari keputusan yang diambil negara dari pemerintahan sebelumnya. Misalnya, tentang kepastian hukum bagi yang sudah menyelesaikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Kabar terakhir, Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim dijadikan tersangka, padahal sebagai obligor sudah menyelesaikan kewajiban yang harus diselesaikan lewat MSAA. Tidak ada yang diragukan lagi karena pemerintahan sebelumnya (lima presiden) juga sudah clear. Tarik ulur kasus BLBI dilihat investor sebagai contoh tidak adanya kepastian hukum. Lihat yang terakhir, adanya protes dari pemilik lama PermataBank.
Hal ini tentu pemerintah tidak boleh lepas tangan. Tidak membiarkan bola menjadi liar. Sebab, kita semua sudah sepakat dalam penyelesaian krisis 1998. Harus diakui, biaya krisis sangat besar, tapi keputusan sudah diambil dan tidak bisa dilihat dengan kacamata sekarang. Apalagi, dijadikan barang saling sandera.
Jika demikian, dalam periode kedua pemerintahannya, Presiden sudah harus segera membereskan tim ekonominya. Tidak harus menunggu Oktober 2019. Bisa dimulai dari sekarang. Mudah saja, tim ekonomi yang tidak bekerja dengan baik di-reshuffle sekarang dan diproyeksikan akan dilantik lagi. Alasannya, ketika mulai pemerintahan kedua sudah menyesuaikan diri.
Pada periode kedua ini, Jokowi setidaknya harus berani menolak permintaan partai yang meminta pos-pos basah. Jangan sampai, dua tahun di sisa pemerintahan keduanya akan sia-sia karena para menteri dari partai juga akan sibuk berebut menjadi presiden pengganti dirinya. Jokowi harus menjadikan ekonomi sebagai panglima dan tak lagi menjadikan politik segala-galanya.
Sudah waktunya mengejar ketinggalan dengan membangun ekonomi yang berkualitas mampu menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Jokowi tidak harus banyak menuruti keinginan dari partai koalisinya. Instruksinya jelas, ekspor naik, investasi naik dengan nyaman. Ekonomi tumbuh, kemiskinan berkurang (bukan karena diguyur dana desa atau bantuan sosial). Apalagi, tidak sedikit juga untuk membiayai kartu kartu, seperti Kartu Pintar, Kartu Sehat, Kartu Sembako dan Kartu Prakerja, serta Kartu Kuliah.
Kabinet baru, harapan baru. Pilihlah tim ekonomi yang tidak sekadar bekerja, tapi juga punya keinginan untuk memperbaiki bangsa dan negara, bukan partai pendukungnya. Semua berharap ekonomi berkualitas dengan memegang kebijakan agar market friendly dan memberi kepastian berusaha ke sektor swasta, dan sudah tentu kepastian hukum. (*)