Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sifatnya final dan mengikat untuk memutus ketidakpastian hukum, yaitu perintah untuk membuat undang-undang (UU) tentang usaha bersama/mutual.
Sebelumnya, pada awal Januari 2021, MK mengabulkan gugatan para pengurus Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera (AJBB) 1912 terkait Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang (UU) 40/2014 tentang Perasuransian.
Amar putusan juga memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden untuk menuntaskan UU Asuransi Usaha Bersama. Putusan sidang itu terlampir dalam salinan dokumen Putusan Nomor 32/PPU-XVIII/2020.
Akademisi, praktisi, serta pemerhati asuransi dan industri keuangan Diding S Anwar menjelaskan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya di Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan Mahkamah Konstitusi (MK) Tahun 2021 di Gedung MK, Kamis (10/2), menyatakan pemerintah selalu menerima, selalu menghormati dan melaksanakan putusan-putusan MK karena demikian yang diatur UUD 1945, yakni keputusan MK bersifat final dan mengikat.
Pada kesempatan itu, Presiden juga menyatakan sebagai negara hukum, harus bersama-sama menegakkan hukum, menegakkan keadilan untuk kepentingan rakyat dan kemajuan bangsa. Pemerintah yakin kehidupan bernegara akan tertata dengan baik jika diselenggarakan berdasarkan konstitusi.
“Putusan MK memiliki karakteristik bersifat final dan mengikat (final and binding). Namun, sampai saat ini UU tentang usaha bersama/mutual belum terbit,” jelas Diding dalam keterangannya, Jumat (17/2/2022).
Dengan belum adanya UU mutual, jelas dia, maka Anggaran Dasar (AD) AJBB 1912 adalah satu satunya sumber hukum tertinggi di AJBB 1912. Dengan belum adanya payung hukum berupa UU, aksi korporasi AJBB 1912 memetik hasil kekacaubalauan, baik pengaturan GCG yang suka-suka, berakibat babak belurnya pengelolaan keuangan, penguasaan aset maupun terabaikannya kewajiban utama pembayaran klaim kepada pemegang polis (pempol), dan kesemrawutan lainnya.
“Sungguh sangat memprihatinkan dan merugikan pempol, yang secara otomatis semua pempol adalah sebagai anggota pemilik perusahaan. Ditambah lagi organ perusahaan usaha bersama saat ini vaccum of power, nyaris sempurna kekacauannya. Pemilihan Badan Perwakilan Anggota (BPA) yang baru saja dilakukan justru melanggar AD AJBB 1912 atau cacat hukum. Ibarat pesawat tanpa pilot, tanpa co-pilot serta kru yang tidak taat dan tidak rapi, sementara penumpang yang telah membayar ongkos cukup banyak jumlahnya,” jelas Diding.
Menurut Diding, setelah UU No.2/1992 dan UU No.40/2014 tentang Perasuransian, belum ada lagi regulasi terkait operasional usaha bersama. Pada 2019, pernah terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.87 Tahun 2019 tentang Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama, namun Putusan MK tetap memerintahkan dalam bentuk UU tentang usaha bersama.
POJK Sebagai Alat Pengawasan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) juga tidak boleh melangkahi UU Amanat UU No.2/1992 dan UU No.40/2014 tentang Perasuransian, jika OJK ingin membuat aturan operasional usaha bersama. Jika ada POJK yang berkaitan dengan core business dan operasional usaha bersama, jelas Diding, berarti cacat hukum karena melangkahi UU.
“Satu-satunya POJK yang berlaku untuk usaha bersama hanya terkait Pengelola Statuter (PS), karena penetapan kriteria PS tidak ada urusan dengan operasional usaha bersama. Namun, PS merupakan alat pengawasan regulator terhadap lembaga jasa keuangan secara umum sebagai kewenangan yang diberikan oleh UU,” jelas dia.
Sementara itu, menurut Diding, mengenai POJK No.28 Tahun 2015 Tentang Pembubaran, Likuidasi, Kepailitan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi (Konvensional dan Syariah), hanya berlaku untuk perusahaan asuransi yang berbentuk perseroan terbatas (PT) dan koperasi.
“Lalu apakah POJK itu bisa untuk perusahaan yang berbentuk usaha bersama/mutual? Saat ini AJBB 1912 vacuum of power (kekosongan kekuasaan), dan pemilihan BPA yang baru dilakukan juga cacat hukum (melanggar AD). Solusi yang terbaik, Pengawas Pengatur Pelindung (PPP) menetapkan PS (Pengelola Statuter),” jelas dia.
Lalu, apakah penetapan PS oleh OJK salah? Menurut Diding, penetapan PS bukan muatan materi operasional usaha bersama/mutual. Penetapan PS itu adalah satu alat pengawasan yang berlaku secara umum terhadap lembaga jasa keuangan. Tidak ada aturan yang sifatnya pengkhususan bagi perusahaan berbentuk badan hukum tertentu.
Artinya, penetapan PS tidak berkaitan dengan kaidah kaidah operasional bisnisnya, tetapi lebih kepada alat pengawasan yang diberikan UU sebagai kewenangan OJK.
Unsur PS bisa perorangan, bisa dari badan hukum. Diding menyarankan sebaiknya PS mewakili badan hukum dan profesional di bidangnya. OJK sesuai kewenangannya yang diamanahkan di UU, yaitu mengambil alih peran dan fungsi direksi dan dewan komisaris yang sesuai dengan AD saat ini, antara lain membentuk panitia pemilihan BPA dan mekanisme/tata cara pemilihannya yang baik dan benar sesuai AD sampai terisinya direksi dan komisaris yang dipilih BPA baru yang legitimate.
OJK bertindak sebagai direksi dalam mengelola kegiatan rutin operasional perusahaan (memprioritaskan pembayaran klaim kepada pempol dengan seadil adilnya). Selain itu, tugas-tugas khusus lainnya yang ditetapkan oleh OJK sebagai otoritas.