Jakarta – Keputusan RDG BI pada Kamis (22/12) yang menaikkan BI7DRRR atau BI Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5% dinilai sebagai keputusan yang tepat oleh ekonom yang juga Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto.
Ryan menilai, BI bertindak taktis dengan mengambil kebijakan antisipatif menaikkan BI Rate 25 bps di tengah ancaman inflasi dan peningkatan suku bunga acuan global.
“Dengan ekspektasi inflasi inti dan inflasi IHK ke depan yang terkendali sesuai target yang 3%+/-1, dan di tengah masih tingginya inflasi global, terutama di negara-negara maju seperti AS dan Eropa, BI bertindak taktis antisipatif menaikkan BI Rate hanya 25 bps,” ujar Ryan saat dihubungi The Finance, Kamis, 22 Desember 2022.
Keyakinan ekspektasi inflasi domestik yang melandai menuju sasaran jangkar inflasi yang 3% merupakan salah satu dasar pengambilan kebijakan pengetatan moneter oleh BI melalui kenaikan BI Rate dan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) secara bertahap, yang dibarengi dengan pengendalian inflasi oleh Tim Pengendali Inflasi Pusat dan Daerah serta pengendalian inflasi pangan.
Ia katakan, menariknya, kenaikan BI Rate 25 bps itu juga dilandasi optimisme bahwa likuiditas perbankan tetap mencukupi (ample) atau tidak terganggu karena rasio alat likuid berbanding DPK yang berkisar 30% masih jauh di atas treshold.
“Dengan demikian, bank-bank tidak akan tergoda untuk menaikkan bunga simpanan dan/atau kredit, sehingga kinerja sektor perbankan tetap terjaga, tetap profit dengan kualitas kredit terjaga serta tetap kontributif terhadap pemulihan ekonomi nasional,” paparnya.
Dirinya juga mengindikasikan bahwa kenaikan BI Rate yang hanya 25 bps menciptakan ruang kenaikan BI Rate di bulan-bulan berikutnya, mengingat ada perkiraan kuat bank-bank sentral global (Fed, BoE, ECB) masih akan melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya hingga inflasi menyentuh level sasaran di setiap negara atau kawasan.
“Pada akhirnya, ruang ekspansi kredit di dalam negeri tidak terkendala karena likuiditas mencukupi dan juga masih ada POJK perpanjangan restrukturisasi debitur terdampak pandemi hingga Maret 2024 untuk segmen UMKM, sektor pariwisata, dan sektor padat karya,” jelas Ryan.
Kecukupan likuiditas juga nantinya bakal ditopang oleh serapan belanja pemerintah yang lebih cepat, tepat, dan tertib, sehingga bank-bank tidak harus menaikkan suku bunga simpanan.
Penulis: Steven Widjaja