Jakarta – Amerika Serikat menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Salah satu penopang terbesar kekuatan ekonomi tersebut ialah faktor konsumsinya.
Bank Dunia mencatat konsumsi AS pada 2017 mencapai US$ 13,32 triliun. Kekuatan besar lainnya seperti Uni Eropa yang terdiri atas 20 negara lebih saja tidak sanggup mengalahkan rekor konsumsi AS.
Maka dari itu, sangat wajar bila dolar AS menjadi mata uang paling banyak beredar di dunia. Mayoritas pembeli berasal dari AS, jadilah dolar AS sebagai mata uang global. Bahkan, data dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa total cadangan devisa dunia pada kuartal II-2019 adalah setara dengan US$ 11,73 triliun, dan dolar AS menyuplai 57,88% atau US$ 6,79 triliun dari total tersebut.
Kondisi demikian membuat dolar AS sangat mendominasi situasi perekonomian global. Misalnya, ketika Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan suku bunga acuan, pasti akan menjadi perhatian bagi pelaku pasar. Saat The Fed tengah dilanda kebimbangan selama dua tahun pada 2013-2015, ekonomi global menjadi sangat tidak pasti. Begitu juga yang terjadi pada tahun 2018, dimana keyakinan The Fed yang tinggi akan pertumbuhan ekonomi AS yang bagus, sehingga suku bunga acuan dinaikkan sampai empat kali dalam setahun, yang membuat rupiah melemah hingga nyaris 6%.
Kondisi semua ini membuat semua negara-negara di dunia ketergantungan terhadap dolar AS. Hidup-mati seluruh dunia seakan ditentukan oleh greenback. Oleh karena itu, wajar jika saat ini muncul upaya untuk ‘memerdekakan’ diri dari ‘penjajahan’ dolar AS. Hal ini dilakukan dengan cara menginisiasi penggunaan mata uang lokal pada perdagangan.
Banyak negara sekarang sedang gencar-gencarnya melakukan upaya tersebut, tidak ketinggalan Indonesia. Bank Indonesia (BI) sudah menjalin kerja sama dengan bank sentral negara-negara tetangga dalam bentuk Bilateral Currency Swap Agreement (BCSA), yang meliputi Malaysia, Thailand, China, Filipina, dan Australia.
BCSA adalah fasilitas di bank sentral yang bisa digunakan oleh importir. Misalnya importir Indonesia mau membeli barang dari China, tidak perlu menyiapkan dan membayar dengan dolar AS seperti yang terjadi selama ini. BI punya fasilitas yuan China yang bisa diakses kapan saja.
Meskipun demikian, aksi ‘buang’ dolar AS ini sepertinya belum berhasil, karena pada faktanya, BI mencatat penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan Indonesia dengan Malaysia dan Thailand sepanjang kuartal I-2019 setara dengan US$ 83 juta. Padahal, selama periode tersebut nilai perdagangan Indonesia dengan dua negara tersebut mencapai US$ 4,58 miliar. Penggunaan mata uang lokal masih sangat minim, tak sampai 2%.
Ini menunjukkan masih butuh waktu cukup lama bagi negara-negara lain untuk lepas dari cengkeraman dolar AS. Bukanlah hal yang mustahil untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS, asalkan upaya tersebut dilakukan dengan komitmen dan konsistensi.