Jakarta – Di masa lalu, sektor manufaktur merupakan pendorong utama pertumbuhan perekonomian Indonesia, dengan pertumbuhan GDP manufaktur yang stabil di angka 19% pada Compound Annual Growth Rate (CAGR) dari tahun 1980 hingga 2015. Namun, selama rentang tahun 2015 hingga 2020, pertumbuhan GDP manufaktur melambat mencapai CAGR 5%.
Berdasarkan studi terbaru Kearney berjudul “Shifting Toward Productive and Competitive Digital Manufacturing”, ekspor bersih manufaktur menurun dari $7,7 miliar pada tahun 2015 menjadi $3,6 miliar pada tahun 2019. Penurunan ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia pada impor barang-barang manufaktur berbasis kompleks (complex manufacturing).
“Sektor manufaktur memainkan peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk menstabilkan ekonomi, Indonesia dapat mentransformasikan sektor manufaktur menjadi lebih produktif dan kompetitif, terutama di pasar global,” ujar Ishan Nahar selaku Principal di Kearney, seperti dikutip Selasa, 28 Februari 2023.
“Untuk meningkatkan daya saing sektor ini, Indonesia dapat memulainya dengan memperluas portofolio produk, yakni komoditas dan manufaktur berbasis dasar (basic manufacturing) menuju barang-barang manufaktur berbasis kompleks, termasuk produk berteknologi tinggi atau high-tech,” tambahnya.
Dalam hal portofolio, Korea Selatan, China, dan Vietnam telah mengalihkan fokus mereka dari sekedar komoditas dan manufaktur berbasis dasar menjadi barang manufaktur berbasis kompleks serta produk berteknologi tinggi. Pada tahun 2020, komoditas dan barang manufaktur berbasis dasar menyumbang sekitar 70% dari total ekspor Indonesia, lebih tinggi dari Korea (17%), China (31%), dan Vietnam (43%), yang telah lebih dulu mengalihkan fokus portofolionya menjadi manufaktur berbasis kompleks.
Lebih jauh lagi, Indonesia memiliki subskala hulu sektor manufaktur, seperti halnya bahan kimia dan logam, dengan kemampuan masih terbatas dalam melakukan pengolahan bahan mentah hingga menjadikannya rantai nilai hilir. Permasalahan ini menghambat kemampuan Indonesia dalam memproduksi produk manufaktur berbasis kompleks dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi, sehingga performa di dunia perdagangan internasional pun menjadi rendah.
Studi ini juga menjelaskan bahwa transformasi digital pada sektor manufaktur Indonesia dapat meningkatkan peluang negara ini untuk dapat memperluas portofolio manufakturnya. Dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, untuk menjaga posisinya di ranah kompetisi global, beberapa negara, seperti China, Jerman, dan Korea Selatan, telah beradaptasi dengan memperluas portofolio ekspor, dari hanya menyediakan manufaktur berbasis dasar, kemudian beralih ke produk manufaktur berbasis kompleks. Adaptasi tersebut dilakukan atas respon mereka terhadap perubahan pasar sebagai dampak positif dari transformasi digital di industri lain.
Misalnya, Korea Selatan beralih dari komoditas dan manufaktur berbasis dasar pada tahun 1965 (menyumbang 84% dari seluruh ekspor) ke manufaktur berbasis kompleks pada tahun 2020 (menyumbang 83% dari seluruh ekspor). Pada periode yang sama, produk ekspor utama Korea juga beralih dari kain ke elektronik.
Negara-negara maju yang lain juga telah mengimplementasikan teknologi industri 4.0 secara ekstensif ke dalam proses manufaktur mereka. Contohnya, sebuah perusahaan TIK Jepang menggunakan sensor berkemampuan IoT untuk mengurangi waktu produksi secara signifikan. Produsen mobil di Jerman mengadopsi sistem robotik canggih pada lini produksi untuk penghematan biaya yang besar.
Melihat praktik terbaik dari negara lain, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk membenahi sektor manufaktur. Dalam hal perluasan portofolio, Indonesia harus mulai berfokus untuk memproduksi produk-produk berteknologi tinggi, seperti kendaraan listrik, baterai untuk kendaraan listrik dan keperluan industri, semikonduktor, serta bioteknologi. Selain itu, dengan tren transformasi digital yang berfokus pada green and health technology, Indonesia juga dapat menggabungkan peralatan TIK seperti komponen smartphone dan peralatan jaringan telekomunikasi, energi terbarukan seperti sistem panel surya, dan peralatan medis.
“Dengan transformasi digital di sektor manufaktur, Indonesia dapat berpartisipasi dalam mengembangkan bagian penting industri lainnya, seperti produktivitas tenaga kerja, memanfaatkan mekanik yang presisi untuk meningkatkan kualitas produk, mengotomatiskan proses, dan meminimalkan biaya,” kata Ishan.
“Jika transformasi ini berhasil dilaksanakan, maka dapat membawa manfaat ekonomi yang besar bagi Indonesia, antara lain berkurangnya ketergantungan terhadap impor, menguatnya kinerja perdagangan global, dan meningkatnya pertumbuhan PDB,” pungkasnya.
Editor: Steven Widjaja