Jakarta – Musim dingin industri tekno (tech winter) justru menjadi opportunity yang bagus bagi investor untuk berinvestasi di perusahaan start-up (rintisan). Selain valuasi yang menjadi relatif murah, market correction diprediksi akan berakhir di akhir tahun 2023.
“Estimasi saya sampai kuartal 4 tahun 2023 masih akan ada koreksi. Tanda-tanda kebangkitan start-up akan terlihat dari jumlah investasi tahap lanjutan (Series B, C, D) yang meningkat,” ujar Rama Arcintaka Mamuaya, Founder & Chief Executive Officer Dailysocial.id yang juga dikenal sebagai pengamat industri startup dan fintech.
Seperti diketahui, untuk mengatasi tekanan inflasi pasca-pandemi, sejumlah bank sentral, terutama The Fed, menerapkan kebijakan tight money policy dengan menaikkan suku bunga demi memerangi inflasi.
Kebijakan yang mengorbankan pertumbuhan inilah yang membuat musim dingin industri tekno (tech winter) menjadi lebih mematikan. Saham saham tekno terjun bebas dan industri start-up mendadak kehilangan sumber utama permodalan.
Menurut Rama, pasca-kebijakan suku bunga tinggi, investasi di start-up mengalami penurunan dalam. ”Tuun 36 persen (year-on-year). Paling banyak terdampak adalah investasi Series B, C dan D. Namun, untuk Pre-Seed dan Seed, angka investasi 2021-2022 masih terus meningkat,” ungkap Rama.
Sesuai levelnya, ada enam seri pendanaan untuk start-up berdasarkan jumlah dana yang digelontorkan, yakni Pre-Seed/Seed (50 ribu – 60 ribu dolar AS), Series A (600 ribu – 3 juta dolar AS), Series B (5 juta – 20 juta dolar AS), Series C (25 juta – 100 juta dolar AS), Series D, E, F, dan G (di atas Series C tapi belum memenuhi persyaratan untuk IPO), dan pendanaan untuk start-up yang siap IPO.
“Estimasi saya, masih akan ada market correction, setidaknya sampai akhir tahun 2023 ini masih akan ada capital crunch untuk startup Series A ke atas,” tuturnya.
Di saat seretnya pendanaan untuk start-up seperti sekarang ini, kata dia, praktisi start-up bisa melakukan self-financing. Yakni, dengan mendapatkan modal kerja dari keuntungan (profit) yang diperoleh dari konsumen.
“Memang, ini bertolak belakang dengan thesis operasi selama ini yang mengutamakan growth di atas profit menggunakan modal investor,” ujarnya.
Namun, bagi startup yang belum bisa melakukan self-financing, ada peluang mendapatkan pendanaan melalui pembiayaan dari perbankan. Misalnya melalui Garuda Fund, perusahaan pendanaan untuk start-up nasional hasil joint venture antara Bank Danamon dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG).
“Ini bagus sekali, karena Garuda Fund sifatnya strategis, tidak hanya equity financing tapi juga revenue-making melalui grup MUFG,” ujar Rama.
Untuk itu, saran dia untuk perusahaan-perusahaan start-up yang ingin mendapatkan pendanaan dari investor, harus menunjukkan diri sebagai start-up yang berpotensi growt dan profitability, fokus ke delivering value ke customer, dan memiliki model bisnis yang sehat.
“Start-up yang memiliki financial foundation yang kuat dan growth yang mumpuni menjadi primadona untuk para investors,” ujarnya.
Garuda Fund adalah proyek bersama MUFG dan Bank Danamon yang didedikasikan untuk membantu pertumbuhan usaha rintisan di Indonesia sekaligus mendukung investasi strategis di industri start-up.
“Sebagai investor jangka panjang di Indonesia, MUFG menyediakan ekosistem yang memungkinkan Danamon menjalin kolaborasi antara investor strategis dan start-up dengan skala bisnis dan kapabilitas digital,” ujar Yasushi Itagaki, Direktur Utama Bank Danamon Indonesia.
Untuk menunjukkan komitmennya itu, MUFG dan Danamon menyelenggarakan Investment Matching Fair pada akhir Februari lalu. Inti kegiatan ini, MUFG dan Danamon mempertemukan pelaku usaha rintisan dengan sejumlah calon investor.
“Investment Matching Fair untuk para start-up juga akan menjadi pembuka mata kita semua, dan kami berharap dapat bertemu dengan perusahaan-perusahaan menjanjikan yang dapat bekerja sama dengan Danamon di masa mendatang,” ujar Honggo Widjojo Kangmasto, Wakil Direktur Utama Bank Danamon Indonesia.
Penulis: Darto W.