Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengemukakan pendapatnya mengenai rencana pembatasan pembelian BBM jenis pertalite yang diisukan diberlakukan paska lebaran nanti. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menjelaskan bahwa hingga kini pihaknya masih dalam tahap diskusi terkait Perpres No 191 Tahun 2014 soal pendistribusian dan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi.
Maka dari itu, pihaknya belum bisa memberitahu waktu pasti kapan diberlakukannya pembatasan pembelian BBM jenis pertalite itu akan diberlakukan. Mengingat revisi Perpres No 191 tahun 2014 tersebut masih didiskusikan di Kemenko Perekonomian.
“Ini lagi di Kemenko Perekonomian. Bukan dibalikin, mereka ya sedang mengkaji lagi. Ya ini bukan di kami, di Kementerian Perekonomian,” ujar Tutuka di Gedung BPH Migas, Senin, 10 April 2023.
Walaupun begitu, ia menegaskan bahwa regulasi pembatasan akses ke BBM jenis pertalite tetap akan diberlakukan pada tahun ini. Dalam aturan itu nantinya akan diatur kriteria konsumen yang bisa mengisi BBM jenis pertalite.
Apalagi, pertalite merupakan Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) di mana ada kompensasi yang diberikan pemerintah kepada PT Pertamina (Persero) selaku pelaksana penugasan.
Sebelumnya, anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Abdul Halim menerangkan ada beberapa opsi penerapan pembatasan pembelian pertalite, yaitu bisa diimplementasikan 1 Maret sebelum Lebaran atau 1 Mei setelah Lebaran.
Ia menuturkan nantinya ada golongan kendaraan yang akan diatur. BBM JBKP atau pertalite untuk motor bisa semua jenis, kecuali di atas 150 cc.
Sedangkan untuk mobil, segala jenis mobil plat hitam atau dengan besaran cc sama atau di atas 1.400 cc dilarang untuk membeli BBM jenis pertalite.
“Seluruh mobil plat hitam dilarang atau mobil 1.400 cc,” ujar Abdul beberapa waktu lalu.
Pembatasan pembelian BBM jenis pertalite ini dinilai akan menghemat anggaran hingga Rp23,5 triliun.
“Kita bisa menghemat hingga Rp23,5 triliun untuk pertalite. Sementara solar sebesar Rp6 triliun sampai Rp7 triliun,” ungkap Abdul.
Penulis: Steven Widjaja