Jakarta – Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed telah resmi kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,25 basis poin pada Rabu (3/5) waktu setempat. Hal ini membuat suku bunga The Fed meningkat ke level 5% sampai 5,25%, yang adalah level tertinggi sejak Agustus 2007.
Kenaikan suku bunga acuan ini sekaligus adalah kenaikan kesepuluh yang dilakukan The Fed dalam kurun waktu kurang dari setahun. Banyak pelaku pasar dan analis yang memprediksi bahwa kenaikan suku bunga The Fed tersebut akan menjadi yang terakhir. Prediksi ini bukanlah tanpa sebab, mengingat adanya kekhawatiran soal pertumbuhan ekonomi domestik dan krisis perbankan yang sedang mengguncang Wall Street.
Apalagi, tren inflasi di Amerika Serikat (AS) juga terpantau terus mengalami penurunan. Level inflasi di AS tercatat terus menurun dalam 9 bulan terakhir, hingga mencapai level 5% di bulan Maret kemarin. Level inflasi itu menjadi yang terendah sejak Mei 2021.
Prediksi penurunan suku bunga The Fed ini, di satu sisi, ternyata berdampak positif bagi perekonomian Indonesia. Global Markets Director UOB Indonesia, Sonny Samuel, mengungkapkan bahwa bila penurunan suku bunga The Fed benar terjadi, maka penguatan mata uang dolar AS bisa melandai yang pada akhirnya akan berdampak pada pengembangan aset keuangan di negara-negara berkembang.
“Ada banyak asumsi yang beredar di pasar bahwa kelihatannya tingkat suku bunga The Fed bisa diturunkan di tahun ini. Mungkin di semester dua tahun ini. Nah, berkaitan dengan hal itu, kelihatannya penguatan dolar AS akan melandai dan sangat membantu pengembangan financial assets pada emerging markets, salah satunya Indonesia yang imbasnya adalah penguatan kurs rupiah dan obligasi rupiah,” ujar Sonny di sela-sela acara 13th UOB Painting of The Year di Jakarta, Kamis, 4 Mei 2023.
Menurut Sonny, hal ini tak bisa dilepaskan dari adanya outlook penurunan suku bunga The Fed yang berpotensi besar terjadi dalam waktu dekat ini. Lebih lanjut, ia juga menegaskan bahwa resesi tidak akan bisa terjadi di Asia, mengingat kuatnya ekonomi sebagian besar negara-negara Asia.
“Pada satu, dua negara di Asia resesi mungkin bisa terjadi karena kondisi perekonomian mereka masing-masing tidak kuat. Tapi kalau seperti Indonesia sangat kuat, dan kita sangat dapat favor dari kenaikan harga komoditas unggulan Indonesia. Kan kita tahu seperti nikel, batu bara juga harganya baik, yang mana itu semua adalah keuntungan untuk ekonomi, jadi saya rasa ekonomi Indonesia tetap sangat bagus ke depannya,” jelasnya.
Dan ketika disinggung soal krisis perbankan di AS, ia mengatakan, tidak ada potensi hal itu bisa menyebar sampai ke Asia, apalagi Indonesia. Ia yakin bila krisis perbankan di AS tak akan mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang kuat-kuatnya.
“Dampak krisis regional banks di AS itu tidak akan menyinggung sampai ke Indonesia atau Asia pada umumnya,” pungkasnya.
Penulis: Steven Widjaja