Telah Sepakat, Perusahaan Migas Ini Pilih Hengkang dari Blok Masela
Jakarta – Salah satu perusahaan minyak dan gas bumi (migas) raksasa asal Belanda, Royal Dutch Shell atau yang akrab dipanggil Shell, memutuskan untuk hengkang dari proyek raksasa migas Indonesia di Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku.
Shell sendiri sebelumnya sudah tercatat sebagai pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) sebesar 35% di Blok Masela, yang mana 65%-nya lagi sudah dimiliki oleh Inpex Corporation, perusahaan migas asal Jepang.
Keputusan hengkangnya Shell dari proyek Masela membuat pemerintah Indonesia kecewa. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif, terheran-heran dengan keputusan Shell untuk hengkang dari salah satu mega proyek pemerintah Indonesia tersebut. Arifin bahkan membeberkan jika pemerintah sudah meningkatkan nilai bagi hasil migas dan insentif lainnya.
“Iya (kecewa). Tiba-tiba dia kabur, padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda kaburnya. Sesudah disetujui PoD baru kabur, kan dia mikir wah nilainya bisa ini (besar) kan,” ujar Arifin di Gresik, Jawa Timur, dikutip Senin, 8 Mei 2023.
Akibatnya, pemerintah harus mencari kembali pengganti Shell untuk proyek Masela itu. PT Pertamina pun disebut-sebut tengah menjajaki untuk masuk menggantikan Shell. Pertamina kabarnya akan membentuk konsorsium dengan Petronas, dan akan mengajukan binding offering dalam beberapa waktu ke depan.
“Ya kita coba supaya banyak yang gendong sharing. Bisa pertamina tinggi, bisa equal,” kata Arifin.
Sebagai informasi, Blok Masela terletak di Laut Arafura, Selatan Papua, yang tak berada jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.
Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangkan dari zaman pemerintah pada 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas abadi yang disinyalir akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.
Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.
Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah berganti nama jadi SKK Migas.
Pemerintah lalu menyetujui PoD pertama, dengan isi pengajuan berupa adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton pada Desember 2010.
Paska lima tahun ditemukannya cadangan gas tambahan di blok Masela, Inpex lalu meminta untuk dilakukannya revisi kapasitas produksi tahunan PoD dari 2,5 juta ton ke 7,5 juta ton.
SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian SKK Migas menerima mandat dari Presiden Joko Widodo di 2016 untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena onshore dianggap lebih berdampak secara ekonomi bagi masyarakat Maluku, khususnya untuk masyarakat Kepulauan Aru.
Keputusan Jokowi untuk memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat itu membuat biaya investasi meningkat besar. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar USD14 miliar hingga USD15 miliar. Sedangkan di darat bisa mencapai USD20 miliar.
Rencana pemindahan dari laut ke darat itu pun memicu negosiasi yang semakin alot antara Inpex dengan pemerintah. Akhirnya, disepakatilah sejumlah syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak, yakni:
1. Peningkatan kapasitas kilang dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMSCFD.
2. Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun, mengingat banyak waktu terbuang dalam hal negosiasi yang membuat kontraktor tak bisa segera memasukkan investasi mereka.
3. Inpex meminta besaran IRR 15%.
4. Inpex dan Shell meminta pengembalian seluruh biaya yang telah dikucurkan mereka mulai dari eksplorasi hingga pembuatan POD Floating LNG sebesar USD1,6 miliar.
5. Percepatan proses perizinan, agar bisa diproduksi mulai 2027.
Penulis: Steven Widjaja