Jakarta – Di masa yang tak menentu ini, berinvestasi menjadi hal penting. Kita sepertinya tidak cukup hanya mengandalkan pendapatan tetap semata, mengingat kondisi perekonomian saat ini yang bisa “ambles” sewaktu-waktu. Tidak ada satu pihak yang berani menjamin bahwa kondisi ekonomi akan tetap baik ke depan.
Nah, tentunya ada banyak sekali instrumen yang bisa digunakan untuk berinvestasi. Mulai dari emas, saham, hingga obligasi, adalah beberapa aset yang bisa menjadi lahan kita untuk berinvestasi. Namun, dalam berinvestasi, ada sejumlah hal yang perlu dipertimbangkan karena tidak semua aset itu baik untuk beragam kondisi.
Syailendra Market Insight baru-baru ini merilis laporan terkait aset investasi apa saja yang bagus untuk sejumlah kondisi ekonomi. Menurut laporan yang dirilis oleh PT Syailendra Capital itu, aset saham ternyata baik digunakan untuk berinvestasi ketika kondisi ekonomi sedang berada pada masa recovery atau pemulihan. Sementara obligasi, lebih baik dijadikan aset investasi ketika kondisi ekonomi sedang berada pada tahap krisis.
Salah satu indikator telah berlangsungnya pemulihan ekonomi adalah mulai berkurangnya kegiatan pengetatan moneter dan mulai membaiknya laba perusahaan. Untuk di Indonesia, perbaikan laba perusahaan akan ditopang oleh perbaikan aktivitas konsumsi domestik menjelang Pemilu 2024.
“Dari waktu ke waktu, ketika mulai terjadi perbaikan dalam perekonomian, kelas aset saham mulai memberikan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan kelas aset obligasi. Secara historis ketika krisis mulai mereda, investor dapat beralih ke aset saham yang berpotensi memberikan imbal hasil yang lebih tinggi,” tulis laporan Syailendra Market Insight, dikutip Jumat, 26 Mei 2023.
Laporan itu juga memberikan gambaran bagaimana aset obligasi korporasi memberikan imbal hasil optimal saat krisis ekonomi global di tahun 2008. Dibandingkan dengan dua kelas aset lainnya, yakni obligasi pemerintah dan saham, obligasi korporasi terbukti lebih unggul ketika krisis ekonomi melanda.
Pada krisis ekonomi 2008, obligasi korporasi mencatatkan kinerja positif 4,9%, sementara obligasi pemerintah minus 22,6% dan saham minus 60,7%. Di tahun 2013 ketika terjadi beberapa gejolak seperti bankruptcy of Greece, Chinese yuan devaluation, dan Fed rate hike hingga menyebabkan pasar saham mengalami sell-off, aset obligasi korporasi kembali mencatatkan kinerja positif sebesar 2,6%, sedangkan obligasi pemerintah dan saham tercatat mengalami minus, masing-masing sebesar 4,8% dan 25,4%.
Hal serupa juga terjadi di tahun 2020 ketika pandemi melanda, dimana obligasi korporasi mencatatkan nilai positif sebesar 1,5%, sementara obligasi pemerintah dan saham mencatatkan minus masing-masing sebesar 2,4% dan 37,8%.
Namun, ketika sudah memasuki masa pemulihan, kondisi berbalik arah dimana aset saham lah yang mencatatkan kinerja positif tertinggi di antara dua kelompok aset lainnya. Aset saham pada masa pemulihan krisis di 2008 misalnya mencatatkan pertumbuhan kinerja sebesar 159,8%, meninggalkan jauh dua kelompok aset lainnya.
Sedangkan pada masa pemulihan krisis di 2015, aset saham mencatatkan pertumbuhan kinerja tertinggi sebesar 34,5% dan pada 2020 tercatat positif 68,3%, menggungguli aset investasi lainnya.
“Setelah krisis berakhir dan siklus ekonomi berlanjut ke periode recovery, ketiga kelas aset mencatat imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan saat periode krisis, tetapi instrumen yang paling menguntungkan adalah saham yang dapat menghasilkan return di atas rata-rata dalam periode pemulihan,” tutur laporan itu.
Penulis: Steven Widjaja