Oleh Karnoto Mohamad, Wakil Pemimpin Redaksi Infobank
INDONESIA akan memiliki presiden baru pada 2024. Tapi siapapun presidennya sistem ekonomi Indonesia tak akan perubahan. Baik Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, maupun Anies Baswedan, ketiga bakal calon presiden (capres) ini menggunakan jurus Jokowinomics untuk merealisasikan gagasan politiknya. Ganjar dan Prabowo yang menjadi simbol keberlanjutan memiliki visi mewujudkan Indonesia Emas pada 100 tahun Indonesia tahun 2045.
Sedangkan Anies sebagai simbol perubahan menawarkan gagasan menciptakan keadilan sosial. Pada kampanye politik 2014, Joko Widodo (Jokowi) juga menawarkan pemerataan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat rasio gini Indonesia melebar mencapai 0,41. Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Jurus Jokowinomics Anies terlihat dalam penempatan BUMN dalam perekonomian sama dengan yang dilakukan Jokowi. Anies akan mengarahkan BUMN untuk menjalankan tugas negara, bukan diarahkan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui sumbangan pajak maupun deviden. Semua kegiatan yang memiliki nilai komersial dikerjakan oleh swasta, dan kalau tidak bernilai komersial dijalankan oleh BUMN.
Berbeda dengan mantan presiden B.J. Habibie atau SBY yang saat itu lebih menempatkan BUMN menjadi market player, kecuali yang menjalankan public service obligation (PSO). Jokowi sangat getol menjadikan BUMN sebagai agen pembangunan oleh pemerintah, kendati perusahaan tersebut sudah berstatus go public. Ambisi Jokowi untuk membangun infrastruktur tidak cukup dengan memperbesar porsi belanja infrastruktur dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Sehingga, Jokowi pun melibatkan peran BUMN untuk mencari dana di pasar, meskipun kemudian banyak disuntik penyertaan modal negara (PMN) untuk mengatasi missmacth dalam neraca BUMN. Pada zaman Orde Baru, pemerintahan Soeharto juga demikian, bahkan lebih dari itu. Negara memberi monopoli dan subsidi kepada BUMN, sekaligus juga memberi intervensi berlebihan terutama dalam penempatkan para pensiunan jenderal dalam kursi pengurus sehingga BUMN menjadi “sapi perah” penguasa.
Menurut Biro Riset Infobank dalam kajian Banking and Finance Outlook 2024, Indonesia diperkirakan hanya mampu meraih pertumbuhan ekonomi antara 5%-6% kalau tidak ada perubahan struktural pembangunan ekonomi. Artinya, pada saat Indonesia memperingati Tahun Emas 2045, Indonesia masih berada dalam jebakan negara berpendapatan menengah atau medium income trap (MIT). Sebab, untuk lepas dari jebatan tersebut, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus mencapai rata-rata 7% per tahun dari sekarang dan itu pun diperkirakan baru akan terjadi pada 2038. Kalau pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%, Indonesia baru akan lepas dari MIT pada 2041.
Melepaskan diri dari MIT memang tidak mudah dan banyak negara yang kesulitan lepas dari itu. Menurut data Bank Dunia berikut, dari dari 101 negara berpendapatan menengah sejak 1960, hanya 13 negara yang berhasil yang naik kelas menjadi high income countries, diantaranya Yunani, Hongkong, Irlandia, Israel, Jepang, Mauritius, Portugal, Puerto Riko, Republik Korea, Singapura, Spanyol dan Taiwan Provinsi Tiongkok.
Sementara di Indonesia, tema yang diusung oleh masing-masing kandidat presiden relatif sama. Caranya merealisasikan visi pun menunjukkan perbedaan yang mendasar. Tidak ada akselerasi atau perubahan sistem. Hampir pasti, perubahan yang terjadi hanya berbeda warna karena orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Bahkan, orang-orang yang masuk dalam lingkaran kekuasaan pun tidak akan berubah semua. Sebab, dunia politik Indonesia sangat mudah membangun kartel politik dimana para elit partai politik (parpol) selalu ingin berkolaborasi untuk mencari akses terhadap sumber daya yang dimiliki negara.
Para capres memiliki visi untuk menjadikan Indonesia ke-100 Tahun pada 2045 sebagai negara berpenghasilan tinggi. Itu baru terwujud kalau pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% per tahun untuk melepaskan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah. Kalau pertumbuhan ekonomi rata-rata di kisaran 5%-6%, maka Tahun Emas 2045 Indonesia telah negara berpenghasilan tinggi itu hanya menjadi sebuah “mimpi basah”.
Seperti apa pemikiran ekonomi para capres 2024 untuk mewujudkan visi politiknya? Berapa pertumbuhan ekonomi tahun depan dan ruang yang tersedia bagi perbankan dan lembaga keuangan lainnya untuk meraih pertumbuhan kredit maupun kinerja keuangannya lainnya? Risiko apa saja yang dihadapi para bankir, eksekutif di lembaga keuangan, dan dunia usaha pada 2024? Baca selengkapnya di Majalah Infobank Nomor 546 Oktober 2023. (*)