Jakarta – Ajang Pemilu 2024 sudah di depan mata. Pesta demokrasi lima tahunan yang seharusnya direspons dengan riang gembira ini dinilai oleh banyak pihak ternodai oleh praktik tidak patut yang dilakukan oleh elit politik saat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan pencalonan capres dan cawapres berusia di bawah 40 tahun dengan syarat telah menjabat sebagai kepala daerah menjadi pemicunya.
Salah seorang pengacara senior yang sudah malang melintang di dunia Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Luhut M.P. Pangaribuan, turut menjadi salah satu pihak yang menyuarakan hal tersebut. Ia yang pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) serta Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini, bahkan memperingatkan masyarakat akan adanya “pohon beracun” pada proses Pemilu 2024.
“Ada istilah dalam hukum, fruit of the poisonous tree, buah dari pohon beracun. Jangan sampai kita memakan buah beracun yang nampaknya akan disodorkan di hadapan kita sekarang ini,” ujar Luhut pada acara konferensi pers Deklarasi Pendirian Gerakan JagaPemilu di Jakarta, Selasa, 21 November 2023.
Ia menjelaskan bahwa pihaknya yang selama ini ikut dalam memperjuangkan gagasan Indonesia sebagai rule of law atau negara hukum, yang kemudian berhasil dilakukan melalui era reformasi, melihat ada fenomena set back atau kemunduran terkait demokrasi dan penegakkan konstitusi di Indonesia dalam rangkaian proses Pemilu 2024.
“Kami memperjuangkan Indonesia itu harus rule of law, bukan rule by law. Rule by law itu maksudnya hukum bukan milik siapa yang menginterpretasikan. Ini jangan kita biarkan. Sekecil apapun kontribusi yang bisa kita lakukan, kita harus perbuat. Jangan sampai terjadi,” tegasnya.
Ia pun menyayangkan peristiwa yang telah terjadi sebelumnya di Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut jika peristiwa seperti di MK itu dibiarkan terus menerus akan sangat berbahaya bagi keadilan dan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, hukum telah dipermainkan sehingga terlihat seolah-olah seperti hukum, namun bukan hukum.
“Ini sudah terang benderang bahwa pohon yang saya sebut itu sudah mulai berbunga, dan harus dijaga jangan sampai muncul buah beracun. Apa perlu kita jelaskan apa yang sudah terjadi di Mahkamah Konstitusi. Apakah itu bukan bibit-bibit pohon beracun, paling tidak tanyalah Prof. Jimly Asshiddiqie. Dia bilang ini serius, ini berat,” tambahnya.
“Seberapa besar pun saham kita di negeri ini, kita juga adalah pemilik saham ya. Kita sebagai warga negara adalah pemegang saham di republik ini. Masing-masing di tempat kita telah memberikan kontribusi sehingga kita ada di posisi sekarang ini. Kalau kita dipertontonkan secara gamblang bahwa seolah-olah hukum yang dijalankan, padahal bukan, itu harus dilawan,” tegasnya.
Penulis: Steven Widjaja