Jakarta – Tingkat pengangguran di Indonesia yang tinggi dan penurunan populasi kelas menengah menjadi hot issue saat ini. Pemerintah Indonesia pun dituntut untuk memberikan solusi terbaik dalam menyelesaikan persoalan yang berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan masyarakat ini.
Edukator, pengusaha, yang sekaligus mantan Menteri Perdagangan Republik Indonesia ke-27, Gita Wirjawan menjelaskan bahwa tak ada opsi lain selain menarik investasi lebih besar ke Indonesia untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas lagi.
Gita mengungkapkan jika foreign direct investment (FDI) yang datang ke Asia Tenggara (ASEAN) itu mencapai sekitar USD200 miliar setiap tahunnya. Namun, secara proporsi, setengah lebih dari USD200 miliar itu mengalir ke Singapura.
Sementara Indonesia hanya mendapatkan sekitar USD30 miliar, di mana Thailand, Malaysia, Filipina, dan Vietnam masing-masing mendapatkan USD10 miliar sampai USD20 miliar.
“Jadi, selama kita tak bisa meningkatkan investasi dari USD30 miliar, itu akan membatasi sejauh mana kita bisa menciptakan lapangan kerja,” sebut Gita pada acara konferensi pers gerakan #NextMillionJobs Jobstreet di Jakarta, Selasa (17/9).
Selama Indonesia masih terbatas dalam menciptakan lapangan kerja, maka selama itulah dampaknya akan dirasakan pada seluruh sektor dan kelas ekonomi, termasuk kelas menengah. Oleh karenanya, ia katakan, yang perlu dipikirkan oleh semua pemangku kepentingan adalah bagaimana bisa meningkatkan investasi.
“Jadi, investasi lah yang bisa membuat lapangan kerja agar seluruh kelas itu bisa menikmati,” imbuhnya.
Tak lupa Gita mengingatkan segenap masyarakat Indonesia untuk berani membuka diri terhadap masuknya investasi asing yang disertai dengan tenaga kerja asing. Ia percaya, dengan membuka diri, pekerja Indonesia bisa lebih produktif dalam bekerja.
Produktifitas marjinal Indonesia sebesar USD25.000 per orang selama setahun. Sedangkan di Singapura, produktifitas marjinal per orang selama setahun mencapai USD211.000. Menurutnya, ini dikarenakan keterbukaan Singapura untuk membuka pintu agar pekerja dari mana saja bisa masuk.
“Sehingga mereka (pekerja Singapura) diasa. Kalau kita tak membuka diri, kita tak bisa merangkul kekuatan inovasi dari manapun. Mungkin secara episodic kita terlihat keren, tapi kita tak akan bisa meningkatkan produktifitas kita,” tegasnya.
Jika Indonesia tak bisa meningkatkan produktifitas pekerjanya dari USD25.000 per orang selama setahun ke nilai yang lebih tinggi, maka Indonesia akan terekspos kembali dengan kerentanan karena produk dan jasa yang diproduksi itu tidak bisa bersaing dengan produk dan jasa yang dihasilkan negara lain, seperti Tiongkok. Yang terbukti produktifitasnya jauh lebih tinggi ketimbang Indonesia.
Ia menambahkan, kalau Indonesia mau mencapai visi Indonesia Emas pada 2045, maka Indonesia harus terbuka terhadap investasi dan gempuran pekerja asing, agar bisa bersaing dengan siapapun dari manapun.
“Nasionalisme kita akan lebih kaya jika kita bisa menginternasionalisasi diri kita, dan bukan malah menutup diri kita,” pungkasnya.
Di lain sisi, Chief Operating Officer (COO) Jobstreet Indonesia, Varun Mehta mengatakan jika budaya meritokrasi yang menekankan pada kompetensi sumber daya manusia (SDM) masih sangat rendah di Indonesia. Hal ini kemudian merusak rantai suplai penyaluran tenaga kerja di Indonesia.
Yang mana tenaga kerja yang diterima bekerja adalah mereka yang memiliki “kepercayaan khusus” dengan pihak pemberi kerja.
“Beberapa perusahaan di kota-kota kecil atau besar, lebih pilih orang terpercaya ketimbang orang profesional. So, trust passes over proficiency. Ini adalah jebakan yang kita coba selesaikan melalui teknologi AI matching,” papar Varun.
Ia tambahkan lagi bahwa 70 persen tenaga kerja di Indonesia sebetulnya memiliki kapasitas yang qualified di bidangnya masing-masing, sehingga membuat mereka memiliki kapasitas untuk negosiasi gaji. Namun, skala yang tak tersedia membuat mereka tak memiliki kesempatan untuk melakukannya.
Penulis: Steven Widjaja