Menangis. Teriak-teriak. Minta uang dikembalikan. Bahkan, menuntut pemerintah yang mengembalikan. Oalah. Itulah fenomena yang terjadi ketika pemilik dana atau peserta investasi bodong merasa tertipu.
Atas kejadian tersebut, aparat penegak hukum tentu saja menciduk mereka yang menyelenggarakan investasi “tepu-tepu” itu. Namun, apakah masalah selesai? Apakah nangis-nangis bisa mengembalikan uang yang melayang? Apakah menjebloskan penyelenggara ke penjara akan mengembalikan dana yang sudah raib? Rasanya tidak. Uang nasabah yang “ditilep” penyelenggara sudah terlalu besar dibandingkan dengan aset penyelenggara yang tersisa. Sering kali begitu.
Kendati sudah banyak masyarakat yang menjadi korban, dalam realitasnya, yang namanya investasi “tepu-tepu” alias investasi bodong alias kosong terus saja bermunculan. Hanya “penampakan” modusnya yang bervariasi. Aneh bin ajaib memang, dan tetap saja banyak kalangan berminat ikut serta.
Keledai saja tidak mau terjatuh dua kali di lubang yang sama. Entah kutukan apa. Kok masih banyak saja masyarakat yang tergiur dengan investasi yang jelas-jelas tidak rasional itu. Pertanyaannya, di mana peran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku pemilik kewenangan terbesar dalam mengawasi sektor keuangan? Mungkin OJK akan menjawab, “Itu investasi ilegal alias tanpa izin. Bagaimana kami bisa mengawasi?”
Dalam beberapa kasus, OJK sering kali terlambat. Kehadiran OJK hanya menutup pas lagi rame-rame. Padahal, OJK punya bagian yang tugasnya mengendus “tikus” investasi, yaitu Waspada Investasi.
Okelah. Itu soal lain. Namun, masalah ini tentu harus dibedah. Bagaimana agar investasi ala “odong-odong” tidak terus bermunculan. Jawabannya sederhana. Investasi tidak mungkin terjadi jika tidak ada interaksi antara pemilik dana dan penyelenggara. Artinya, ada penawaran dan ada permintaan atau respons. Coba kita lihat satu persatu.
Investasi hakikatnya mesti mengikuti kaidah akal sehat. Prinsip yang paling dasar, bisnis model dan bisnis prosesnya memiliki kejelasan. Ada transparansi bagaimana dana yang diinvestasikan bisa berkembang. Contoh paling sederhana menempatkan dana di perbankan. Pemilik dana akan memperoleh pendapatan bunga.
Dari mana asal-usul pendapatan bunga tersebut? Dari penyaluran kredit. Dari kegiatan itu, bank mendapatkan pembayaran bunga. Persentasenya lebih besar dibandingkan dengan yang bank bayarkan kepada para pemilik dana atau deposan. Selisihnya merupakan keuntungan bank. Pola seperti ini sangat jelas. Transparan. Nasabah tahu berapa jumlah dana bank. Berapa pula kredit yang disalurkan. Ke sektor mana saja, dan sebagainya.
Apakah tidak ada risiko? Ya ada juga. Hanya saja, risiko yang membayangi tidak terjadi “ujug-ujug”. Kalau terjadi kredit macet, misalnya. Bank mesti menyiapkan pencadangan dan memperbaiki kredit macet tersebut. Hanya saja, jika jumlahnya signifikan, ya berbahaya juga. Pasti akan memengaruhi kemampuan bank membayar bunga kepada deposan. Jadi, pilihlah bank yang keren kinerjanya.
Bagaimana dengan investasi di pasar modal. Sebut saja membeli saham. Jika pembeliannya dilakukan berdasarkan analisis memadai, hasilnya juga memadai. Bukan membeli saham karena isu atau spekulatif. Prinsip sederhananya, belilah saham perusahaan/emiten yang fundamentalnya bagus. Dan, size-nya besar. Seiring dengan penguatan fundamental, lazimnya harga sahamnya juga akan meningkat. Investor bisa mendapatkan dividen. Atau, kalau dijual lagi, investor bisa memperoleh gain. Harga jual saham lebih tinggi ketimbang harga beli.
Simpulannya, mau tempatkan dana di bank atau di pasar modal, konsep berkembangnya dana sangat jelas. Bisa dideteksi. Juga risikonya.
Bagaimana dengan investasi bodong? Apa pun modusnya, biasa yang dijual adalah janji imbal hasil yang sangat muluk. Jauh di atas kelaziman investasi.
Ketika imbal hasil yang dijanjikan sangat tinggi, cuss, langsung bertabrakan dengan prinsip investasi. Kok bisa? Tanya diri Anda. Jika ada satu bisnis yang keuntungannya sangat menggiurkan, apakah Anda akan mengajak orang lain untuk turut serta? Boleh jadi tidak. Kecuali Anda masih bersaudara dengan malaikat bersayap yang baik hati. Dengan kata lain, jika Anda mendapatkan tawaran investasi dengan imbal hasil maha dahsyat, itu sama saja dengan Anda ditawari risiko maha dahsyat pula. High risk, high return. Sayangnya, investasi bodong tidak pernah men-deliver “high return”. Yang ada hanya “high risk”. Jadi, ketika ada tawaran “mengembangbiakkan” uang tanpa transparansi mekanismenya, sangat mungkin, tawaran itu adalah investasi bodong.
Sebagian Anda mungkin bilang, ada juga yang menikmati return tinggi di beberapa jenis investasi tersebut. Misalnya,”investasi” umrah First Travel yang kondang itu. Sekalangan masyarakat tetap bisa umrah, hanya dengan membayar sekian juta rupiah. Padahal, biaya sebenanya berkali lipat. Jangan salah. Anda bisa berangkat umrah kala itu sebenarnya menggunakan dana setoran orang lain yang antreannya di bawah Anda. Nah, ketika peminat berkurang, setoran seret, kewajiban mengirimkan peserta umrah pun terhenti. Modusnya adalah skema Ponzi. Itu istilah kerennya.
Dalam realitasnya, modus investasi bodong amat bervariasi. Namun, intinya, ada pengumpulan dana dari masyarakat. Lalu ditanamkan dalam berbagai bentuk. Hasil investasi itu dijanjikan setinggi langit. Malah ada yang menggunakakan pendekatan syariah pula. Tujuannya jelas, untuk menggugah emosi pemilik dana. Ada yang disebut kebun kurmalah. Ada yang disebut rumah syariahlah. Pendeknya, macam-macam jurusnya, tapi ujungnya sama. Mungkin pemilik dana berpikir, jika ikut serta di investasi tersebut, selain mendapatkan manfaat duniawi juga langsung masuk surga.
Ambil satu contoh. Penawaran investasi di kebun. Dulu ada yang namanya Qsar. Mungkin masih ingat. Penyelenggara menawarkan imbal hasil 20-24 persen setahun, dari dana yang ditawarkan. Menarik ‘kan? Namun, coba pikirkan. Kalau imbal hasilnya sebesar itu, kenapa penyelenggara tidak pinjam uang ke bank saja, yang bunganya paling banter 10 persen. Jadi, kalau dilakukan sendiri, untung bersihnya masih sekitar 10-14 persen. Lalu, kenapa penyelenggara investasi tidak pinjam ke bank? Karena, tidak layak. Tidak bankable. Tidak feasible. Atau memang sejak awal niatnya mau “nilep” uang masyarakat.
Lalu, bagaimana menghindari jeratan investasi bodong. Kuncinya ada pada diri Anda sendiri. Gunakan rasionalitas. Pertama, tidak ada dalam investasi yang namanya berbagi keuntungan. Yang ada adalah berbagi risiko. Itu berarti jika ada tawaran imbal hasil tinggi – apalagi di luar kelaziman – Anda sedang dijerat masuk perangkap risiko. Kedua, jangan serakah. Jangan mudah tergiur pesona imbal hasil tinggi. Ketiga, lakukan checking. Bagaimana penyelenggara investasi “mengembangbiakkan” dana yang diinvestasikan. Ingat, ini jagat nyata. Bukan sulapan. Tidak mungkin ada hasil investasi, jika tidak jelas “underlying” transaksinya.
Keempat, cek ke OJK, apakah penyelenggara investasi tersebut terdaftar atau tidak. Jika tidak ada namanya dalam list OJK, lupakan tawaran tersebut. Sudah pasti ilegal. Kelima, cari tahu siapa orang yang menjadi penyelenggara investasi itu. Mengelola investasi bukan pekerjaan sederhana. Dibutuhkan kompetensi mumpuni. Bahkan, dibutuhkan jam terbang yang panjang. Nah, jika yang menyelenggarakan tak punya track record, tidak perlu merespons tawarannya. Termasuk mungkin ada yang pakai artis segala untuk meng-endorse. Sejatinya, artis bukan ahli investasi. Artis jagonya bermain seni.
Oke, itu dari sisi pemilik dana. Bagaimana aspek pengawasan OJK? Benar, kalau perusahaannya tidak terdaftar, tidak mendapatkan izin OJK, investasi tersebut bisa disebut ilegal. Lalu, apakah OJK bebas tanggung jawab begitu saja? Mestinya tidak.
OJK juga toh berkewajiban untuk melakukan “financial deepening” dengan cara-cara yang benar. Itu berarti masyarakat mesti diedukasi. Harus ada literasi program yang bertubi-tubi. Dari perkotaan hingga perdesaan. Mau ceramah kek, mau pasang iklan kek, atau mau meminta lembaga keuangan resmi untuk turut serta melakukannya kek. Bisa juga membuka hotline “Q & A” 24 jam. Apa saja boleh. Semestinya literasi berlangsung secara terus-menerus sehingga masyarakat umum mendapatkan pengetahuan memadai. Dengan begitu, diharapkan nantinya para pemilik dana setidaknya akan berpikir dua kali jika mendapat tawaran investasi yang menjanjikan imbal hasil tinggi. (Prosagama)
Penulis adalah Pengamat dari The Asia Economic and Capital Market Institute.