Jakarta – Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan data dari Food and Agriculture Organization (FAO) yang memperlihatkan data limbah makanan, di mana ada 1,3 miliar ton makanan yang terbuang setiap tahunnya secara global. Angka ini setara dengan sepertiga pangan yang diproduksi untuk dikonsumsi masyarakat dunia.
Bila dihitung secara ekonomi, maka ada kerugian sebesar Rp107 triliun sampai Rp346 triliun per tahun dari besaran food waste secara global tersebut. Sementara secara nasional, kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2021 menunjukkan besaran food loss and waste (FLW) di Indonesia mencapai 23 juta hingga 48 juta ton per tahun.
Dari besaran FLW tersebut, Indonesia mengalami kerugian ekomomi sebesar Rp213 triliun sampai Rp551 triliun per tahun, atau setara dengan 4% sampai 5% PDB Indonesia. FLW ini juga memberikan kontribusi signifikan pada peningkatan emisi gas metana yang dapat merusak lingkungan.
Emisi gas metana di Indonesia dari besaran FLW di atas mencapai 1.702,9 Mt CO2 yang setara dengan 7,29% dari emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Bila limbah makanan itu bisa dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, maka bisa memberi makan 61 juta sampai 125 juta orang yang setara dengan 29% sampai 47% populasi Indonesia.
Melihat data dan fakta di atas, Badan Pangan Nasional menyatakan pentingnya kolaborasi dari berbagai pihak untuk menangani masalah food waste ini secara lebih serius.
“Food waste itu bukan pekerjaan per orangan. Ini adalah pekerjaan banyak orang. Bahkan, ini adalah tanggung jawab global. Artinya, pekerjaan ini harus dilakukan bersama-sama. Maka, konsep yang harus dibangun dalam penanganan food waste adalah konsep kolaborasi,” jelas Deputi Bidang Kerawanan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional, Nyoto Suwignyo, pada acara peluncuran kampanye “Live more, waste water & food less” oleh Bank DBS Indonesia di Jakarta, Rabu, 18 Oktober 2023.
Nyoto lebih lanjut menerangkan jika ada dua aspek dalam kolaborasi ini, yakni aspek manajemen dan aspek aktor utama yang berperan menggerakkan. Menurutnya, pada aspek aktor, pemerintah seharusnya menjadi aktor utama tersebut.
“Aktor-aktor yang ada di masyarakat ini antara lain ada donatur misalnya, yang pasti terbatas perannya. Yang harus jadi aktor utama adalah pemerintah. Saya lihat saat itu pemerintah belum hadir, maka lahirlah Badan Pangan Nasional. Dan kami mencoba dengan teman-teman lainnya seperti dari asosiasi-asosiasi, untuk bergerak bersama menangani kasus food waste ini,” papar Nyoto.
“Semoga dengan acara DBS kali ini kita bisa jadi lebih baik serta lebih meluas lagi gerakan Stop Pemborosan Makanan dan dampaknya ke depan. Kita juga tengah menyiapkan regulasi yang mengikat terkait penanganan food waste. Karena salah satu tema kami adalah siapkan policy paper untuk mendukung harapan teman-teman agar rencana yang ada bisa dieksekusi secara lebih mapan ke depannya,” tegasnya.
Di lain sisi, CEO Foodbank of Indonesia, Hendro Utomo, mengingatkan bahwa penanganan food waste hendaknya jangan hanya difokuskan pada makanan semata, tetapi juga pada urgensi akan sumber daya air.
“Kalau kita lihat lagi masalah sumber daya air di Indonesia dan hubungannya dengan pangan adalah bahwa 70% pangan kita itu diproduksi dari air. Jadi, kalau kita buang makanan itu kita artinya buang-buang air. 172 miliar USD air terbuang dalam limbah pangan,” terangnya.
Pihaknya pun telah berkolaborasi dengan Bank DBS Indonesia sejak 2019, melalui kampanye #MakanTanpaSisa dengan mendonasikan lebih dari 55 ton makanan kepada 10.000 penerima manfaat.
Penulis: Steven Widjaja