Jakarta — Potensi dan peluang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk mendapatkan pendanaan dari pasar modal melalui skema go public mulai terbuka. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI siap mendukung upaya amandemen UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Permodalan menjadi masalah utama di BPR, terlebih setelah adanya kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR sesuai POJK No 5/POJK.03/2015. Menurut POJK tersebut, modal inti minimum BPR ditetapkan sebesar Rp6 miliar yang wajib dipenuhi paling lambat 31 Desember 2024.
Padahal, masih banyak BPR yang memiliki modal inti di bawah Rp6 miliar. Menurut data Infobank Institute, per Januari 2022, ada 501 (30,7%) BPR bermodal inti di bawah Rp6 miliar dari total jumlah BPR sebanyak 1.631 BPR (1.467 BPR dan 164 BPRS).
Jumlah terbanyak BPR dengan modal inti Rp6 miliar sampai dengan di bawah Rp15 miliar, yakni 727 (44,7%) BPR. Sementara, BPR dengan modal inti Rp15 miliar sampai dengan di bawah Rp50 miliar ada 307 (18,8%) BPR. Hanya 96 (5,9%) BPR dengan modal inti Rp50 miliar ke atas.
Masih banyaknya jumlah BPR dengan modal inti di bawah Rp6 miliar membutuhkan perhatian khusus semua stakeholders. Sebab, tak semua pemegang saham memiliki kemampuan untuk menambah permodalan dengan setor modal.
Untuk mendapatkan permodalan dari mitra strategis juga tak mudah, apalagi dari investor asing. Sebab, sesuai UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, khususnya Pasal 23, BPR hanya boleh didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia (WNI).
Berbeda dengan bank umum, yang memungkinkan mendapatkan pendanaan dari investor asing melalui sistem kemitraan, sesuai Pasal 22 UU Perbankan.
Dari sinilah muncul wacana perlunya amandemen UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, agar BPR bisa memiliki hak yag sama seperti bank umum dalam mendapatkan pendanaan.
“Masalah utama BPR itu memang terkait permodalan. Masih ada 501 BPR yang modalnya di bawah Rp6 miliar. Sementara bisnis bank seperti marathon, harus punya napas panjang, jangka panjang,” ujar Eko B. Supriyanto, S.E., M.E., Chairman Infobank Institute, dalam seminar “Potensi dan Peluang BPR Go Public dan Go Digital” yang diselenggarakan oleh The Finance dan Perbarindo dan peluncuran buku biografi “Kepeloporan dan Keteladanan Bankir Wymbo Widjaksono”, di Hotel Discovery, Ancol, Jakarta, Jumat, 17 Juni 2022.
Menurut Eko, cara untuk menambah modal BPR yang paling mungkin saat ini adalah, pemilik menyetorkan tambahan modal. Bisa juga mengajak partner strategis untuk bergabung.
“Tapi, cara yang paling keren adalah mencari pendanaan ke pasar modal, dengan melakukan go public,” tegas Eko.
Sayangnya, regulasi tidak memungkinkan BPR untuk melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO) atau go public. Regulasi ini, yang menurut Eko, perlu diamandemen, karena sudah tidak relevan lagi.
“Lha waralaba seperti Alfamart saja boleh go public. Itu lihat fintech (perusahaan financial technology) saja dananya asing semua. Masak BPR ndak boleh. Emang duitnya mau dibawa lari keluar, kan ndak juga,” papar Eko.
Menurut Eko, dengan go public kelangsungan hidup BPR justru akan semakin terjamin. Kinerja BPR akan semakin GCG dan makin transparan. Sudah tidak relevan lagi dikotomi kepemilikan asing dan bukan asing sekarang ini.
“Untuk itu, UU Perbankan yang sudah tidak relevan dengan zaman ini harus diamandeman, bersama Undang-undang BI, OJK, dan LPS,” saran Eko.
Saran Eko mendapat respon positif dari DPR. Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDIP, Dr. H. Musthofa, S.E., M.M., mendukung penuh upaya industri BPR mencari permodalan melalui skema go public.
“Kami di Panja DPR siap mendukung dan men-support penuh langkah-langkah ke arah itu, termasuk usulan amandemen UU Perbankan, UU BI, UU OJK, dan UU LPS,” ujar Musthofa dalam seminar tersebut.
Menurut Musthofa, BPR selama ini dipandang sebelah mata. Padahal, fungsi dan peran BPR tak beda jauh dengan bank umum, yakni sama-sama menjalankan fungsi intermediasi. BPR bakan menjadi ujung tombak lembaga keuangan nasional dalam menggerakkan UMKM.
Makanya, Musthofa sangat mendukung upaya mensetarakan BPR dengan bank umum, khususnya dalam mencari pendanaan. “Jangan khawatir investor asing akan membawa dananya keluar. Sekarang sudah era boarderless, tak ada lagi sekat antarnegara,” tegas Musthofa.
Bahkan, saking antusiasnya mendukung perkembangan BPR, Musthofa mengusulkan jika kepanjangan BPR diganti. “Jangan Bank Perkreditan Rakyat, tapi Bank Perekonomian Rakyat,” usulnya.
Sebagai upaya tindak-lanjut dari wacana BPR go public, Musthofa berjanji akan membawanya ke Panja DPR. “Kerja DPR kan kolektif kolegial, harus melibatkan anggota yang lain, tidak bisa kerja sendirian,” tutupnya.