Jakarta – Neraca perdagangan antara Indonesia dengan Australia sudah sejak lama mengalami defisit. Teranyar, berdasarkan data neraca perdagangan per September 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dengan Australia mengalami defisit sebesar USD387 juta. Menjadikannya kontributor defisit terdalam pada neraca perdagangan RI setelah dengan Thailand defisit USD341 juta, dan Brasil USD206 juta.
Merespons data yang ada, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Shinta W. Kamdani menyatakan bahwa sektor industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) bisa menjadi solusi atas defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Australia selama ini.
Indonesia adalah produsen terbesar nikel, sedangkan Australia adalah pemasok utama lithium global. Kedua komoditas itu adalah bahan baku utama pembuatan baterai kendaraan listrik. Shinta jelaskan, kerja sama antara Indonesia dengan Australia di bidang pengembangan industri kendaraan listrik menjadi prioritas utama yang terus didorong progresnya oleh pemerintah Indonesia.
“Yang sangat besar yang kita dorong saat ini kan yang kendaraan listrik. Kalau itu kita bisa realisasikan kerja samanya kan lumayan size-nya,” ujar Shinta saat ditemui pada acara Indonesia Australia Business Conference 2023 di Jakarta, Kamis, 9 November 2023.
“Masalahnya kalau kita bicara soal produk makanan dan segala macam dari segi jumlah size-nya itu kan takes time ya untuk bisa mendongkrak sisi ekspor kita ke Australia, sekalipun ini terus kita dorong. Cuman kalau kita bicara soal kendaraan listrik itu kan lumayan besar dari segi volume kalau kita bisa berhasil mewujudkan kolaborasi ini,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Shinta, sektor kendaraan listrik sudah dikenakan tarif khusus untuk masuk ke pasar Australia. Maka dari itu, pihaknya akan terus mencari cara agar kolaborasi RI-Australia di sektor tersebut bisa terwujud dan berjalan lancar.
Hal senada juga disampaikan Direktur General Negosiasi Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan RI, Djatmiko Bris Witjaksono. Djatmiko mengungkapkan bahwa kerja sama Indonesia dengan Australia untuk pengembangan baterai EV adalah sebuah bentuk kerja sama baru yang ke depannya berpotensi menjadi ceruk pasar baru dalam meningkatkan kinerja ekspor Indonesia ke Australia.
“Karena Australia punya lithium, kita punya nikel. Itu adalah komponen utama untuk membuat baterai EV. Oleh karenanya, kita ingin bisa berkolaborasi. Kita sekarang masih dalam tahap penjajakan dan sudah ada ketertarikan dari Australia. Kita doakan semoga ada update-update lagi ke depannya,” pungkasnya.
Sebagai informasi, pada bulan Februari lalu, Kamar Dagang Indonesia dan Pemerintah Australia juga telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) untuk menjajaki kolaborasi pengembangan mineral kritis bagi industri baterai dan kendaraan listrik. Plan of action dari MoU ini rencananya akan diimplementasikan pada 2023-2025 guna mengembangkan industri baterai EV terintegrasi.
Indonesia sendiri sudah menargetkan untuk mulai memproduksi baterai EV tahun depan, serta produksi 1 juta mobil listrik dan 3,2 juta motor listrik di tahun 2035.
Penulis: Steven Widjaja