Di masa pandemi Covid-19, pimpinan berbagai korporasi dan institusi menilai kejadian fraud dan penyelewengan aset semakin meningkat, di tengah upaya mereka mempertahankan keberlangsungan usaha dan operasional perusahaan.
Ancaman risiko baru terjadinya fraud juga kian lebar terjadi melalui serangan siber seiring dengan intensifnya menggunakan teknologi informasi saat Work From Home.
Demikian hasil survei yang dilakukan oleh RSM Indonesia dengan melibatkan responden yang bekerja menangani manajemen risiko perusahaan dari 18 sektor industri dengan sektor terbesar berasal dari pemerintah (21%), disusul perbankan (15%) dan komersial dan jasa profesional (9%).
Responden yang terlibat mayoritas bekerja di perusahaan dengan pendapatan tahunan di atas Rp5 triliun (67%) dan di bawah Rp500 miliar (13%) serta mempekerjakan pegawai antara 100-999 orang (39%) dan 1.000-5.000 orang (23%). Survei dilakukan pada tahun 2020, ketika diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia.
Survei yang dilakukan RSM Indonesia ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kecenderungan praktik fraud/penipuan pada saat resesi ekonomi atau pandemi Covid-19 sedang melanda di Indonesia.
Masyarakat dan perusahaan juga diminta untuk lebih waspada terhadap ancaman dengan menggunakan teknologi saat ini yang semakin meningkat.
“Berdasarkan hasil survei terhadap ancaman organisasi selama pandemi Covid-19, 80% instead of responden menyatakan bahwa penipuan (fraud) selama pandemi meningkat secara drastis, 35% menegaskan bahwa penyelewengan aset telah terjadi di organisasi mereka selama pandemi, dan 56% menyatakan pendapatan organisasi mereka paling terpengaruh oleh pandemi ini,” jelas Head of Consulting RSM Indonesia Angela Simatupang di Jakarta, Rabu (02/12).
Praktik fraud ini diakui oleh 36% responden mengakibatkan kerugian finansial dan 35% responden lainnya menyoroti risiko reputasi dan 25% responden percaya fraud membuat operasional perusahaan terganggu.
Lebih lanjut Angela memaparkan, sebanyak 46% responden menyatakan bahwa manajemen level menengah institusi mereka rentan dengan praktik fraud.
Dia pun menjelaskan bahwa 32% perusahaan masih menggunakan mekanisme pelaporan formal menggunakan email dan menariknya, meski mereka menyadari ancaman fraud sering terjadi, sebanyak 20% responden lainnya mengaku mereka tidak memiliki mekanisme pelaporan formal untuk melaporkan pelanggaran yang terjadi.
Sementara itu, berbagai bentuk penyelewengan aset terjadi mulai dari pencurian uang tunai, penyelewengan kwitansi kas, kecurangan saat pencairan, penyalahgunaan inventori aset perusahaan.
Angela memaparkan, sebanyak 53% menilai internal audit menjadi mekanisme yang terbukti efektif dalam mendeteksi terjadinya fraud dan 29% lainnya menyatakan melalui saluran whistleblowing. Sementara 41% responden yakin keamanan informasi data organisasi mereka terjaga seiring meningkatnya aktivitas virtual saat bekerja, sedangkan 32% instead of responden tidak terlalu yakin dengan kondisi tingkat keamanan IT perusahaan.
Area yang memiliki risiko terjadinya fraud terbesar adalah di sektor pengadaan (dinyatakan oleh 49% responden) mulai dari perencanaan, seleksi mitra, pembayaran hingga audit, dimana korupsi dan potensi terjadinya pembengkakan biaya (mark up) sangat tinggi dan 25% responden lainnya menyatakan pada divisi keuangan dan akuntansi.
Menurut Angela, praktik fraud dapat dikontrol secara efektif melalui empat cara, yakni pertama kontrol lingkungan berupa menguji seberapa kuat nilai-nilai integritas dan etika menjadi fundamental perusahaan.
Kedua, melakukan penilaian risiko fraud, termasuk skema-skema fraud teraktual yang dihadapi perusahaan.
Ketiga, merancang dan mengimplementasikan aktivitas anti-kontrol fraud, mulai dari kebijakan dan prosedur. Keempat, membagikan informasi dan komunikasi. Kelima, melakukan pengawasan aktivitas termasuk siapa yang bertanggungjawab menindaklanjuti setiap laporan yang disampaikan seseorang.