Jakarta – Financial technology (fintech) peer to peer (P2P) lending kian diminati masyarakat. Jumlah peminjam (borrower) dan pemberi pinjaman (lender) juga terus mengalami pertumbuhan. Mekanisme pinjaman secara online ini memang sangat mudah, cepat, dan menggiurkan dari sisi return. Di samping borrower yang bisa memperoleh pinjaman dengan mudah, lender pun bisa mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dibanding instrumen investasi lain.
Berdasarkan ikhtisar data keuangan fintech lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah borrower dan lender tercatat tumbuh signifikan. Pada Februari 2019, total dari jumlah akumulasi rekening lender di Jawa, luar Jawa, dan luar negeri sebesar 245.299 rekening atau naik 91,40%. Sementara, total dari akumulasi jumlah rekening borrower di Jawa, luar Jawa, dan luar negeri per Februari 2019 sebesar 6.081.110 rekening atau tumbuh 1.012,3%.
Menjamurnya rekening lender dan borrower dibarengi dengan meningkatnya rasio pinjaman kredit macet di industri teknologi finansial pendanaan. Hingga Februari 2019, rata-rata rasio pinjaman macet atau tidak terbayar dalam jangka waktu melebihi 90 hari tercatat sebesar 3,18%. Angka ini jauh lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 0,78%.
Terkait hal tersebut, OJK saat ini menganjurkan fintech bekerja sama dengan perusahaan asuransi agar risiko pinjaman yang macet bisa dialihkan ke asuransi. Seperti yang disampaikan oleh Deputi Direktur Pengaturan Penelitian dan Pengembangan Fintech OJK, Munawar Kasan beberapa waktu lalu, bahwa fintech lending bisa menjalin kerja sama dengan perusahaan asuransi yang memiliki produk asuransi kredit. Jika fintech mengasuransikan tagihannya, mereka tak perlu lagi agresif dalam melakukan penagihan. Dan apabila melampaui batas tagihan yang ditetapkan, mereka bisa mencairkan klaim ke perusahaan asuransinya.
Metode perlindungan dana konsumen fintech lending melalui asuransi kredit sudah dilakukan oleh fintech Danamart. Chief Executive Officer (CEO) Danamart, Patrick Gunadi mengatakan, mekanisme asuransi kredit ini, seperti jika terjadi gagal bayar, asuransi kredit akan menjamin 90% dari total kredit untuk mengembalikan dana ke pendana.
“Danamart sangat beruntung bisa partner dengan asuransi yang tepat. Setahu saya, baru Danamart yang memberi jaminan produk per produk sampai 90%. Ini salah satu cara mitigasi resiko kami,” kata Patrick kepada Infobank, bulan lalu.
Fintech lending Danamart secara resmi terdaftar di OJK November 2018 lalu. Fintech ini fokus terhadap pembiayaan kredit untuk pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Patrick menambahkan, ke depannya, produk yang disediakan oleh Danamart hanya produk yang bisa diproteksi asuransi saja. “Kami akan main dikoridor itu,” tambahnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh fintech Batumbu yang menyediakan asuransi perlindungan kepada lender. Untuk memitigasi risiko kredit, Batumbu akan menggandeng asuransi yang akan meng-cover risiko kredit hingga 80% dari nilai pinjaman yang diberikan lender kepada borrower. Ini merupakan hal baru di bisnis fintech lending.
Sementara ini sudah ada dua perusahaan asuransi yang akan digandeng Batumbuh, yakni ACA dan Grup Sinarmas. Model bisnis yang ditawarkan Batumbu melalui pola kemitraan strategis, yakni hanya memberikan pembiayaan kepada ekosistem dari mitra-mitranya. Mitra Batumbu tersebut adalah para pelaku UKM di Indonesia. Saat ini sudah ada tiga kelompok UKM yang dijadikan mitra, UKM perkebunan sawit, UKM garmen, dan UKM logistik.
“Ini kesempatan kami untuk mengakselerasi pertumbuhan UKM di Indonesia,” kata Sonny C. Joseph, CEO Batumbu.
Sementara itu, meskipun telah memberikan asuransi perlindungan kepada lender, fintech Amartha giat mengedukasi lender yang hendak berinvestasi melalui platform-nya. CEO Amartha, Andi Taufan Garuda Putra menegaskan, pihaknya selalu memberi edukasi kepada calon lender sebelum meminjamkan dananya terhadap borrower. Seperti memberi edukasi bahwa imbal hasil bukan fix income.
“Mungkin dapat 12,5% per tahun, tapi memungkinkan juga kalau bisnis akan macet. Itu yang kami terus edukasi. Kami tidak bisa pastikan fix return. Ini (fintech) bukan risk free investment,” tegas Andi Taufan, bulan lalu.
Menurut Andi Taufan, pihak pemberi dana pinjaman juga memiliki potensi risiko uangnya hilang. Untuk memitigasi hal itu, Amartha telah melakukan kerja sama dengan lembaga penjaminan dan asuransi, seperti Perusahaan Umum Jaminan Kredit Indonesia (Perum Jamkrindo), asuransi pasar polis dengan Sinarmas, dan asuransi Allianz.
“Itu credit protection. Jadi, 75% pinjaman tersalurkan protected. Misal, memberi dana pinjaman sebesar Rp1 juta. Kalau ada gagal bayar, pertengahan jalan macet, minimal Rp750 ribu balik uangnya dengan membeli premi asuransi,” pungkasnya. Ayu Utami Saraswati
* Artikel ini telah terbit di Majalah Infobank, No. 494, edisi Juli 2019.