Jakarta – Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi yang terjaga. Bahkan, di tengah krisis yang ada, Indonesia juga beberapa kali diakui sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang melampaui tingkat pertumbuhan ekonomi negara lainnya.
Namun begitu, nampaknya Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) memiliki pandangan berbeda soal ini. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi menyatakan, tak ada faedahnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bila tak ada manfaatnya untuk masyarakat. Lebih lanjut, Fathan menjelaskannya dengan istilah pertumbuhan yang berkeadilan.
“Tidak ada artinya Halmahera Utara 27 persen (tingkat pertumbuhan ekonominya), tapi hanya bergantung pada tujuh orang. Kalau tujuh orang pindah ke Jakarta, habis semua. Itu yang dikatakan sebetulnya pertumbuhan yang berkeadilan,” ujar Fathan pada sesi Exclusive Sharing and Appreciation Night dari acara “The Asian Post The Best Regional Champion 2024: Agility BUMD Keuangan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi”, di Hotel The Stones Kuta, Bali, Jumat, 31 Mei 2024.
Ia kemudian menerangkan bagaimana tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang berada di kisaran 5 persen tak sebanding dengan beban anggaran yang dibutuhkan pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi berbagai proyek besar dengan kebutuhan anggaran yang besar pula. Ia ambil contoh negara bollywood India yang ekonominya dapat tumbuh melebihi 8,4 persen di kuartal pertama tahun ini, mengalahkan Negeri Tirai Bambu.
“Sementara kita mencapai 7 persen, itu baru sekali loh jamannya Pak Soeharto saja. Ke sininya turun terus. APBN kemarin yang dipidatokan Menteri Keuangan di Paripurna DPR ya 5,01, 5,02, 5,03, angka yang sangat moderat untuk sebuah negara besar dengan tantangan tenaga kerja, tantangan fiskal yang semakin berat, dan anggaran-anggaran pembangunan yang semakin besar. Kita tahu, ada anggaran untuk IKN, anggaran untuk Program Strategis Nasional (PSN) yang dirancang Bappenas seperti Kerera Cepat Jakarta – Jogja, Jakarta – Surabaya, dan sebagainya yang tentu membutuhkan dukungan APBN yang sangat kuat,” tegasnya.
Oleh karenanya, diperlukan bauran-bauran kebijakan yang sesuai dengan tantangan zaman saat ini. Seluruh pihak, mulai dari asosiasi sampai regulator, sambungnya, sudah tak bisa lagi fokus pada konsep business as usual. Diperlukan kerja sama mencari rumusan pembangunan ekonomi yang tepat dan agile di zaman yang dinamis ini.
Maka, Fathan sampaikan, sebagai salah satu solusi atau bagian dari bauran kebijakan itu yakni menjaga bank pembangunan daerah (BPD) tetap independen, dengan suatu kolektivitas direksi yang mandiri dan berintegritas, serta bebas dari intervensi pihak-pihak yang berkepentingan.
“Ini wajib kita jaga karena memang napas BPD adalah napas untuk pembangunan daerah, walaupun ada beberapa atensi-atensi pemimpin daerah yang juga menjadi jeratan dari pemilik saham itu. Jadi, saya kira BPD harus inovasi, digitalisasi, kolaborasi, dan lain sebagainya, sehingga itu bisa menjadi salah satu jalan keluar dari situasi yang berkembang saat ini,” pungkasnya.
Pihaknya juga sudah menginstruksikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan bank perekonomian rakyat (BPR) melalui Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Milik Daerah (Perbamida) untuk melakukan digitalisasi, mengintegrasikan sistem IT tunggal. Mengingat adanya transmisi di tahun 2025-2026 bagi LPS untuk menjadikan BPR di Indonesia lebih sehat.
Penulis: Steven Widjaja