Mempercepat Digitalisasi Bank Sentral Untuk Perekonomian Nasional

Jakarta – Memasuki era industri 4.0 berbasis IT, internet dan digital telah menjadi tantangan bagi bank sentral untuk mengikuti kecepatan perubahan tersebut termasuk Bank Indonesia (BI). Untuk itu Bank Indonesia harus memahami apa yang terjadi di lingkungannya, terlebih lagi adanya pandemi Covid-19 yang mengharuskan merubah hampir semua aspek kehidupan menjadi new normal.

Apalagi, arus digitalisasi sistem keuangan yang makin cepat perkembangannya, sehingga mendorong Bank Indonesia (BI) untuk terus berinovasi. Dengan demikian, mewujudkan Bank Sentral untuk bertransformasi menjadi digital merupakan salah satu langkah yang tepat untuk menjawab semua kebutuhan terlebih dalam mendongkrak perekonomian nasional di tengah masa pandemi sekarang ini.

Guna mencapai hal tersebut, tentu perlu dilakukan transformasi digital, transformasi kebijakan, transformasi organisasi, dan transformasi SDM. Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Erwin Haryono mengungkapkan, bahwa pihaknya sudah melakukan lima inisiatif untuk merespon perkembangan tersebut. Hal ini dilakukan untuk mempercepat transformasi BI.

Erwin menyatakan, inisiatif pertama yang sudah dilakukan adalah lewat sistem pembayaran dengan melakukan standarisasi Application Programming Interface (API). Proses ini akan mempercepat kolaborasi antara bank dengan bank dan bank dengan non-bank.

Kedua, BI terus mempercepat digitalisasi pembayaran retail. Inisiatif satu ini dilakukan dengan mengaplikasikan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) pada setiap transaksi pedagang dan pembeli. Transaksi melalui QRIS akan membuahkan manfaat lain disamping transaksi yang cepat, yaitu data. QRIS bukan hanya mempermudah transaksi tetapi juga mendapatkan data.

“Data tersebut bisa menjadi input analisis keuangan,” ujar Erwin dalam media & public discussion InfobankTalkNews dengan tema ‘Mewujudkan Bank Sentral Digital Untuk Perekonomian Nasional’ Rabu, 25 Agustus 2021.

Pada inisiatif ketiga, BI akan melakukan penguatan pada infrastruktur pasar. Saat ini, belum semua transaksi di Indonesia memanfaatkan pembayaran digital karena infrastruktur yang belum memadai. Keempat, pemanfaatan data untuk kepentingan publik akan terus didorong. Dengan data yang optimal, dampak transformasi digital akan bisa dirasakan oleh banyak pihak.

“Inisiatif kelima dan terakhir adalah reformasi atau penyederhanaan kebijakan. BI baru saja mengeluarkan revisi peraturan-peraturan sistem pembayaran pada tahun lalu. Penyederhanaan ini akan semakin mempercepat proses digitalisasi sistem keuangan kita,” ucap Erwin.

Di sisi lain, pihaknya juga terus melakukan komunikasi dengan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), terkait dengan kebijakan arah transformasi digital. Sinergi antara BI dan BSBI akan menciptakan kemajuan dalam sistem pembayaran dan transaksi nasional serta digitalisasi bank sentral.

Sementara itu, Direktur Center of Information and Development Studies (CIDES), Umar Juoro menyatakan, bahwa Bank Sentral yang semakin digital tentu memerlukan peran analisis Badan Supervisi Bank Indonesia untuk diskusi merumuskan sebuah kebijakan. Umar yang juga Mantan Ketua BSBI ini menilai, nahwa peran Badan Supervisi masih sangat dibutuhkan di masa digital seperti sekarang ini.

“BSBI itu sifatnya kan tidak ikut dalam kebijakan, tetapi lebih ke analisis. Dengan yang ada sekarang, lembaga seperti BSBI sangat diperlukan untuk partner Bank Indonesia,” tambah Umar.

Lebih lanjut dirinya mengungkapkan, lembaga BSBI bisa lebih kontributif mengenai digitalisasi bank sentral dan uang digital yang sedang di garap Bank Indonesia. Beberapa diantaranya, BSBI bisa fokus pada analisis risk management berbasis data, pemanfaatan Big Data, dan Artificial Intellegence (AI) yang semakin dibutuhkan di zaman digital.

Menurut Umar, uang digital BI membutuhkan sebuah kerangka hukum yang memberikan kewenangan BI untuk menerbitkan uang digital. Seperti diketahui, uang digital BI adalah rupiah digital yang denominasi nilainya bisa saja sama dengan uang kertas, atau dengan nilai tertentu yang sepenuhnya dapat dipertukarkan dengan uang kertas (fully convertible).

“Nantinya BI menjadi penerbit uang kertas (termasuk logam) atau MI (uang dalam sirkulasi), dan uang digital masuk dalam M2 dan M3,” terang Umar.

Selain itu, uang digital BI juga dapat dipergunakan untuk bertransaksi sebagaimana uang kertas. Uang digital BI juga mendapatkan suku bunga (interest bearing) dan dipergunakan dalam kebijakan moneter dan stabilitas sistem keuangan. “Uang digital BI semestinya hanya dipergunakan di dalam jurisdiksi Indonesia saja, seperti juga uang kertas,” jelasnya.

Anggota Komisi XI DPR RI dari fraksi partai Golkar, Mukhamad Misbakhun pun menegaskan, bahwa DPR pada prinsipnya mendukung upaya Bank Sentral melakukan transformasi digital yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional. Namun juga perlu diketahui, pentingnya menyeimbangkan antara memanfaatkan inovasi digital dan mitigasi risikonya.

Ia menilai, digitalisasi adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh Indonesia, lantaran transformasi digital mampu mendorong Indonesia menjadi negara maju. “Aktivitas manusia yang terhambat karena adanya pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor pendukung dalam transformasi digitalisasi. Situasi pandemi ini juga memberikan hikmah luar biasa mengenai transformasi konvensional menuju transformasi digital di sektor perbankan,” papar Misbakhun.

Bank Sentral 4.0 merupakan salah satu strategi dalam mendorong inovasi dalam ekonomi dan keuangan digital dari Bank Indonesia bertujuan memperkuat daya saing dan kepentingan nasional serta mempersempit kesenjangan masyarakat. Tantangannya, lanjut Misbakhun, yakni bagaimana regulasi dalam level Undang-Undang. Apalagi saat ini belum ada regulasi terkait perlindungan data dan sistem keamanan data yang memadai. Hal ini berpotensi mengakibatkan data pengguna disalahgunakan oleh pihak ketiga. (*)

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *