UMKM harus bisa memanfaatkan berbagai stimulus dari pemerintah dan relaksasi kebijakan regulator di sektor keuangan untuk melakukan pemulihan di era new normal.
Kuartal kedua 2020 diharapkan menjadi periode terberat bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). UMKM yang mayoritas hidup dari adanya interaksi manusia kelabakan dihajar pandemi COVID-19. Itu tidak hanya dialami UMKM di Indonesia yang berjumlah 64 juta pelaku, tapi juga UMKM di berbagai negara. Menurut OECD dari survei Asia Pacific MSME Trade Coalition, separuh dari UMKM hanya memiliki cadangan kas satu bulan ke bawah. Sementara, survei yang dilakukan sejumlah lembaga dan Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan ada 47% UMKM di Indonesia yang bangkrut terdampak pandemi COVID-19. Pemerintah pun sudah mengambil respon cepat ketika pandemi COVID-19 datang dan langsung membawa dampak pada perekonomian. Anggaran stimulus fiskal untuk menghadapi COVID-19 sebesar Rp695 triliun pun disediakan, dan dari anggaran sebesar itu, Rp123,46 triliun dialokasikan untuk menyelamatkan sektor UMKM. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah mengeluarkan kebijakan countercyclical dampak COVID-19 melalui POJK Nomor 11 / POJK.03 / 2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan.
“Relaksasi dengan bunga yang rendah dan tidak harus membayar cicilan selama enam bulan. Dan, UMKM yang kebanyakan di ultra mikro itu kami dorong untuk masuk ke program bantuan sosial. Mereka adalah kelompok miskin baru,” ujar Teten Masduki, Menteri Koperasi dan UKM, saat memberi keynote speech webinar “UMKM Gearing-Up Into The New Normal” yang diselenggarakan Infobank, akhir Juni lalu. Teten menambahkan, untuk membantu dari sisi permintaan, pemerintah memiliki anggaran belanja Rp735 triliun yang bisa diarahkan untuk membeli produk-produk UMKM.
Selain perbankan, restrukturisasi kredit UMKM melibatkan perusahaan penjaminan seperti dilakukan perusahaan Jamkrindo. Menurut Randi Anto, Direktur Utama Jamkrindo, pihaknya ditugaskan untuk ikut mengembangkan UMKM melalui sistem penjaminan kredit dan ketika banyak UMKM yang kesulitan akibat dampak pandemi maka Jamkrindo ikut mendorong lembaga keuangan untuk menyelamatkan UMKM melalui program restrukturisasi kredit. “UMKM yang direstrukturisasi oleh pemerintah melalui perbankan dan oleh perusahaan penjaminan juga disediakan fasilitas modal kerja agar terus bisa menjalankan usahanya. Dengan demikian, siklus finansial kepada UMKM yang sedang kesulitan ini bisa berjalan,” ujarnya saat menjadi pembicara di webinar yang sama.
Belajar dari pelaku usaha yang bisa survive di masa pandemi dengan memanfaatkan ekosistem digital, maka UMKM harus bisa beradaptasi dengan perusahaan yang ada. Kendati pemerintah melonggarkan PSBB, penularan COVID-19 masih terjadi dan masyarakat umumnya menjadi terbiasa dengan protokol jaga jarak (physical distancing) dan menjauhi berkerumun sehingga membiasakan diri menggunakan teknologi digital.
“Pandemi COVID-19 ini menimbulkan urgensi untuk pengembangan UMKM 4.0. Dari sisi pembayaran, pemasaran, pembiayaan, dan sertifikasi. Tantangannya adalah pada kesiapan UMKM,” ucap Budi Hanoto, Direktur Eksekutif Kepala Pengembangan UMKM dan Perlindungan Konsumen BI.
Kapan pandemi COVID-19 berakhir, belum ada yang tahu – sampai vaksin ditemukan. Sebab itu, para pelaku UMKM harus bangkit dengan memanfaatkan berbagai stimulus dan relaksasi yang diberikan pemerintah dan regulator melalui perbankan dan lembaga pembiayaan untuk meraih peluang di era new normal. Selain itu, belajar dari pelaku usaha yang lebih mampu mengarungi masa survival, para pelaku UMKM harus beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan memanfaatkan ekosistem digital untuk memperbaiki bisnis proses, pemasaran, hingga pembayaran yang lebih praktis.