Oleh Eko B Supriyanto
AKHIR pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kepolisian RI untuk menerbitkan Red Notice atas Syamsul Nursalim (SN) dan Itjh Nursalim (IN). Dasar KPK tak lain status tersangka perkara SKL-BDNI yang digaung-gaungkan merugikan Negara Rp4,5 triliun. Permintaan Red Notice terhadap SN dan IN dinilai oleh ahli hukum, Prof I Gde Pantja Astawa merupakan tindakan sewenang-wenang dan tindakan melawan hukum.
Entah KPK mencari apa, sehingga tak menyerah, padahal pokok perkara yang disidangkan atas tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) sudah final KPK kalah di Mahkamah Agung (MA) dengan membebaskan SAT, karena wilayahnya bukan hukum pidana. Untuk kepastian hukum dan hak dari SAT dibebaskan, dan tentunya SN dan IN juga bebas.
Itu runtutan ceritanya. Status tersangka SN dan IN ditetapkan setelah kasus SAT. Lha, kalau status SAT nya sudah dibebaskan, tentu perkara SN dan IN dalam hukum pidana gugur. Harusnya KPK di sini belajar dari kekalahan perkara SAT ini. Tidak sewenang-wenang dan lebih hati-hati. Tidak mau pokoknya pokoknya korupsi. Atau, karena Komisioner KPK di masa injury time ini mencitrakan bahwa perkara BLBI sudah dilakukan sesuai janjinya waktu hendak terpilih menjadi komisioner empat tahun lalu.
Jika KPK mau menelusuri dan mengungkap kasus BLBI, sebenarnya mudah. Lihat saja audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006. Jelas disebutkan, siapa siapa yang belum membayar, tidak kooperatif atau setengah kooperatif. Pemerintah memberi jaminan yang sudah kooperatif dan membayar termasuk SN dan IN, tentunya harus diberi apresiasi. Jangan sampai semua disamakan dengan Undang-Undang Nomer 31 Tahun 1999 Tentang Pidana Korupsi (Tipikor). Padahal, masuk wilayah perdata atau hukum administrasi.
Guru besar Universitas Padjadjaran Bandung itu sependapat dengan pandangan Dr Maqdir Ismail seperti dikutip beberapa media, bahwa langkah KPK merupakan tindakan berlebihan dan tidak berdasar hukum. Pendeknya, hanya mencari-cari yang tidak ada dasar hukumnya.
“Saya dukung sepenuhnya pernyataan Maqdir Ismail yang merespon tindakan KPK soal red notice. Bahkan saya menilai tindakan KPK soal red notice itu adalah tindakan sewenang-wenang berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sehingga merupakan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” kata Prof Gde Pantja Astawa kepada media di Jakarta, Senin (25/11).
Menurut Pantja, ada tiga hal yang, menurut ahli hukum tersebut, mendasari pendapatnya. Pertama, dalam putusan Kasasi MA secara tegas disebutkan bahwa Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) tidak melakukan perbuatan korupsi, juga tidak terbukti merugikan keuangan negara. Apa yang dilakukan SAT sebagai Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) hanya menjalankan kewajiban dan melaksanakan perintah jabatan.
Kedua, oleh karena dalam perkara SAT yang didakwa melakukan tindak pidana bersama-sama dengan SN dan IN telah diputuskan MA bahwa SAT tidak terbukti melakukan perbuatan pidana korupsi, maka mutatis-mutandis SN dan IN juga tidak melakukan perbuatan korupsi.
Ketiga, Putusan Kasasi MA itu sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap). “Suka atau tidak suka, fakta adanya putusan MA yang sudah berkekuatan hukum tetap harus diterima dan dihormati,” tandas Prof Pantja Astawa.
Dikaitkan dengan kepastian hukum, harusnya setelah perkaranya selesai di tingkat MA, maka harusnya juga menjadi kekuatan hukum tetap. Hal ini penting, untuk memberi signal bagi investasi di dalam negeri yang sedang giat-giatnya Pemerintah menarik investor asing. Boleh jadi, penilaian Moeldoko, Kantor Sekretaris Presiden (KSP) yang mengaitkan KPK dengan investasi ada benarnya. Paling tidak untuk kasus SAT yang sudah dinyatakan bebas.
Tidak hanya itu. Kriminalisasi kebijakan penyehatan perbankan ini akan membekas pada pembuat kebijakan di sektor perbankan menakutkan. Bisa jadi, jika terjadi krisis akan dilakukan kriminalisasi, dan tentu akan berdampak buruk pada perbankan sendiri. Pembuat kebijakan takut jika mengambil keputusan. Kasus ini juga melekat pada penyehatan Bank Century yang juga dipolitisasi dan sekaligus dikriminalisasi.
Permintaan KPK di masa injury time untuk menerbitkan red notice tidak hanya tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasar hukum. Tapi, juga memberi sinyalemen buruk bagi kepastian hukum sendiri. Jangan harap investastor masuk ke Indonesia jika perkara yang sudah jelas, bahwa SKL-BDNI bukan perkara pidana dan sudah dibebaskan oleh MA atas pokok perkara SAT.
Kita terus dan tetap mendukung pemberantasan korupsi 1000 persen. Tapi, untuk kasus SKL-BDNI ini, sudah waktunya KPK move on, berhati-hati dalam menetapkan tersangka korupsi. Indonesia membutuhkan investasi asing, dan investasi asing masih melihat Indonesia sebagai Negara yang tidak punya kepastian hukum. Sekali lagi, kasus BLBI untuk perkara SKL-BDNI sudah selesai dan tidak terus mencari-cari – seolah-olah demi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri. Jika KPK kalah karena memang kesalahan KPK sendiri yang tidak memahami kerangka hukum ketika terjadi krisis tahun 1998/1999.
Perang dagang China-Amerika Serikat akan berdampak buruk bagi perdagangan dunia. Krisis ekonomi di depan mata, dan arena politisasi dan kriminalisasi kebijakan bisa membuat para pengambil kebijakan takut, dan akhirnya akan menambah beban krisis yang lebih besar.
Bayangkan jika ada krisis datang, ada penyehatan bank, siapa yang akan berani mengambil kebijakan, jika di masa pensiunnya akan dipanggil-panggil KPK. Jadi, stop kriminalisasi dan politisasi kebijakan dalam penyehatan perbankan. Jangan sampai, perkara BLBI ini hanya reklame semata tanpa dasar hukum yang benar ketika keputusan itu diambil di saat krisis 1998/1999 lalu. (*)
Penulis adalah Pimpinan Redaksi InfoBank Group