Jakarta – Pertumbuhan ekonomi melandai. Produk domestik bruto (PDB) nasional juga tertekan. Harga komoditas dan efek dari perang dagang menekan pertumbuhan. Ekonomi Indonesia masih bertumpu pada Jawa (58,5%) dan Sumatra (22%). Sedikit saja gangguan terjadi pada Jawa dan Sumatra akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Secara spesifik, melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional terutama dipengaruhi oleh menurunnya pertumbuhan ekonomi di Jawa, Kalimantan, dan Papua – bahkan Papua tumbuh negatif pada triwulan pertama 2019. Pada tahun lalu, menurut data Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekonomi Maluku-Papua minus 9,43%.
Ketimpangan pertumbuhan ekonomi antarpulau bisa berakibat pada ketidakseimbangan pembangunan. Hanya bertumpu pada Jawa dan Sumatra. Padahal, otonomi daerah diberlakukan salah satu tujuannya ialah memberi peran pada daerah, terutama di luar Jawa, untuk berkembang. Namun, sudah 20 tahun otonomi daerah diberlakukan, konsentrasi ekonomi tidak juga banyak berubah.
Tiga tahun lalu Indef mengeluarkan riset bahwa ketimpangan dan kemiskinan disebabkan oleh adanya otonomi daerah. Itu karena sumber-sumber ekonomi hanya terpusat pada satu pusat kekuasaan di daerah yang bekerja sama dengan pengusaha. Sehingga, perputaran uang hanya terjadi pada segelintir elite.
Nah, berkaca dari hal itu, sudah waktunya menjadikan ekonomi sebagai panglima. Kepala daerah yang mempunyai visi kuat dan ekonomi selayaknya dapat suara dan menjadi kepada daerah. Tidak mudah memang, tapi bukan tak bisa. Masyarakat di daerah juga sering kali apatis terhadap isu-isu ekonomi jangka panjang. Politik identitas kerap kali menjadi barang dagangan.
Kesenjangan justru terjadi pada daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam. Tidak ada alasan lagi sekarang untuk tidak saling menyeimbangkan peran kepala daerah dengan masyarakatnya. Isu kesenjangan dan kemiskinan akan terus ada, meski sekarang ini angka kemiskinan sudah di bawah single digit.
Pendapatan daerah akan lebih bagus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, peningkatan kesejahteraan rakyat ini hanya manis buat kampanye dan sedikit yang direalisasikan. Praktiknya, pendapatan daerah hanya memperbesar mesin birokrasi, belanja pegawai. Akibatnya, tidak menetes ke bawah dengan multiplier effect yang lebih besar.
Sering kali kepada daerah tidak memahami perannya sebagai leader yang menggerakkan ekonomi. Di lingkungan bank pembangunan daerah (BPD), misalnya, sering kali kita mendengar ganti gubernur ganti direksi BPD. Hal ini tidak ada salah karena memang kepala daerah, tapi sering kali pergantian hanya berdasar pada selera, bukan kompetensi serta kinerja. Akibat ini pula, direksi BPD hanya melayani kepada daerahnya.
Kita berharap, pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tidak hanya di Jawa dan Sumatra, tapi bisa lebih menyebar ke Kalimantan dan Sulawesi dan daerah lainnya yang lebih merata. Jangan sampai otonomi daerah cuma melahirkan raja-raja kecil di daerah. Jika demikian, otonomi daerah hanya dinikmati segelintir elite dan tidak memberikan pemerataan.
Sudah waktunya kepala daerah berbicara ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Karena itu, pilihlah kepada daerah yang mampu memberi efek ekonomi bagi masyarakatnya, bukan sekadar berbicara politik dan remeh temeh janji kampanye semata. Sebab, Indonesia bukan hanya Jawa dan Sumatra. Ada Kalimantan, Bali, NTB-NTT, Sulawesi, Maluku, ada pula Papua.
Bertumpu pada Jawa dan Sumatra saja akan mudah goyang jika kedua pulau itu mengalami perlambatan ekonomi. Semua tergantung pada daerah, punya visi ekonomi atau hanya hendak mengeruk potensi daerah buat kroninya.
* Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi The Finance