Jakarta – Masa pandemi telah berlangsung selama lebih dari dua tahun dan mulai memasuki masa recovery. Namun, di tengah perbaikan kondisi, kembali muncul tantangan baru yang hadir dari level global, yakin ancaman resesi global dan inflasi. Tentunya kondisi ini dapat memberikan dampak bagi berbagai industri nasional, tanpa terkecuali industri asuransi.
Poltak Hotradero selaku Business Development Advisor Indonesia Stock Exchange, menyebutkan bahwa efek dari invasi Rusia ke Ukraina, pengetatan moneter AS, dan perlambatan ekonomi di China akan membebani ekonomi tahun depan, dengan potensi pertumbuhan global melambat menjadi hanya 2,7%, menunjukkan tren perlambatan dari 2021 yang sebesar 6% dan di 2022 sebesar 3,2%.
“Potensi risiko yang kemungkinan besar terjadi dan memiliki dampak yang sangat tinggi, berupa cuaca, dimana musim dingin memperburuk krisis energi Eropa. Musim dingin 2022/23 di Eropa akan berlangsung berat dan akan sangat tergantung pada ketersediaan gas dan batu bara. Pada keadaan ini, inflasi di Eropa masih akan bertahan tinggi didorong harga energi serta akan menekan konsumsi serta ekonomi,” ujar Poltak, pada acara media discussion bertema “Economic Outlook 2023 and Inflation-Recession Pressure: What does it mean for Insurance and Media Industry” yang digelar Allianz Indonesia, Selasa, 20 Desember 2022.
Poltak menambahkan bahwa cuaca ekstrem dapat pula menambah lonjakan harga komoditas dan memicu kerawanan pangan global. Kekeringan parah dan gelombang panas di Eropa, Cina, India, dan AS pada tahun 2022 berkontribusi terhadap kenaikan harga beberapa bahan makanan. Selain itu, invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina berdampak pada terhambatnya pasokan gas alam dan selanjutnya penurunan produksi pupuk dunia.
Tanpa pemulihan pasokan gas alam dan pupuk, siklus tanam berbagai komoditas di tahun 2023 dapat terdampak, terutama pada negara-negara miskin di Afrika dan Timur Tengah.
“Secara umum, negara-negara di dunia mengalami lonjakan inflasi. Lonjakan inflasi dipicu oleh meningkatnya aktivitas ekonomi dan meningkatnya volume uang hasil stimulus ekonomi pandemi berbagai negara. Untuk menekan lonjakan inflasi, berbagai Bank Sentral di seluruh dunia menaikkan suku bunga, untuk menyerap likuiditas pasar uang yang berlebih dan mengendalikan ekspektasi inflasi,” jelas Poltak.
Kenaikan suku bunga biasanya akan memicu perlambatan aktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini akan berlangsung hingga tingkat inflasi berada di bawah target Bank Sentral. “Pada iklim seperti ini berbagai lembaga keuangan akan cenderung lebih berhati-hati sekaligus mendorong efisiensi operasional,” tuturnya.
Sementara itu, Ni Made Daryanti selaku Chief Investment Officer Allianz Life Indonesia menjelaskan bahwa kenaikan inflasi di berbagai negara, telah menyebabkan pendapatan premi asuransi mengalami penurunan.
“Hal ini tentunya membawa dampak terhadap industri asuransi, sehingga pendapatan premi asuransi mengalami penurunan. Nasabah juga akan semakin berhati-hati dan menyesuaikan pilihan subdana sesuai profil risiko,” papar Made.
Meskipun terjadi penurunan permintaan terhadap asuransi, namun kesadaran akan pentingnya asuransi tetap ada, khususnya dalam jangka panjang. Nasabah, menurut Made, akan semakin selektif dan kritis ketika akan membeli produk asuransi. Nasabah juga akan semakin memperhatikan dari polis yang dimiliki, apakah proteksi dan nilai investasinya sudah cukup.
“Untuk 2023, Allianz melihat bahwa volatilitas ekonomi global masih akan berlanjut. Walaupun mungkin tetap ada gejolak, namun jauh lebih tenang. Selain itu, kami juga optimis pada kondisi ekonomi Indonesia yang masih cukup kuat dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada. Allianz juga melihat bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya memiliki proteksi asuransi akan terus meningkat dan diiringi dengan keinginan untuk memahami produk asuransi yang sudah dimiliki,” tambah Made.
Editor: Steven Widjaja