Oleh Mikail Mo, Researcher dari The Asian Institute for Capital Market and Investment
“SURGA ada di telapak kaki bankir” demikian kalimat pertama yang terucap dari seorang debitur yang selama lebih dari 11 tahun menjadi debitur bank. Selama menjadi debitur bank pelat merah, Paijo (bukan nama sebenarnya) tak pernah “batuk-batuk”. Apalagi sampai macet. Hal itu diakui pula oleh petugas bank yang baru sekali menghubungi Paijo setelah 11 tahun menjadi debitur.
Cerita Paijo debitur baik ini menarik. Apalagi pemerintah juga hendak menghapus tagih kredit macet UMKM. Menariknya lagi, karena bank-bank pelat merah sedang “pamer” laba jumbo. Wong sedang krisis karena COVID-19 yang membuat dunia usaha “sempoyongan”, laba bank-bank, khususnya bank-bank milik negara, justru malah besar. Bank follow the trade sepertinya tak lagi berlaku di sini.
Sumber laba tidak lagi penting, apakah dari hasil “panen” write off, atau memang dari pendapatan bunga. Intinya, laba bank terus mendaki. Anda bisa menebak sendiri dari mana sumber laba itu – kredit tidak tumbuh kok laba tumbuh double digit. Itu tak lain dari hasil pencadangan dari kredit yang “dibumi” hanguskan sebelumnya.
Semua senang. Pemegang saham senang karena mendapat dividen. Para direksi tidak hanya mendapat tepuk tangan, tapi juga bonus dan tantiem. Karyawan dapat bonus, sementara negara dapat pajak. Namun, pernahkah berpikir, ada debitur baik, seperti Paijo, menyebut bahwa “Surga ada di telapak kaki bankir”. Cerita Paijo ini, penulis yakin tidak hanya dialami oleh Paijo semata.
Singkat cerita, Paijo ini debitur baik. Lancar-lancar saja. Tiap bulan rekeningnya otomatis didebit. Hanya dua kali Paijo terlambat mengangsur. Itu pun tidak lebih dari seminggu. Waktu itu, menurut cerita Paijo, dalam sebuah diskusi, ia terlambat karena “kelupaan”, sebab sedang dinas. Tapi denda juga dibayar oleh Paijo akibat keterlambatan karena kesalahannya.
Waktu itu, rekening yang dijadikan debit rekening “kelupaan” diisi. Maklum, bank yang memberi pinjaman Paijo bukan bank utama, meski Paijo sudah lama menjadi penabung di bank itu. Itu pun, keterlambatan tidak lebih dari seminggu. Paijo bukan termasuk debitur macet, atau tidak kooperatif. Bisa jadi hanya dua kali kategori kreditnya dalam perhatian khusus.
Paijo orang biasa. Seorang karyawan yang punya usaha Ayam Geprek. Sumber penghasilannya dari dua dompet. Satu sebagai karyawan dan satunya lagi sebagai “bakul” Ayam Geprek. Tapi, bank tidak mengakui sumber dari usaha kecil-kecilan itu. Sumber angsuran kredit murni dari gaji.
Cerita bermula dari tahun 2012. Ketika itu Paijo hendak membeli sebidang tanah di daerah Bekasi. Paijo kebetulan masih punya kenalan di bank yang dulu pernah dibantu untuk mempromosikan produk KPR-nya. Paijo bukan orang besar, tapi punya banyak kenalan, sehingga dalam lingkungan selalu menyebut bank pelat merah ini jika butuh KPR. Tahun 2006 bank ini agresif, dan mulai dikenal sebagai bank yang punya portofolio KPR besar.
Maka, Paijo mengajukan fasilitas kredit Multigunna sebesar Rp1,2 miliar dengan jaminan ruko milik istrinya di daerah Fatmawati. Nilai agunan sebesar Rp3,8 miliar. Itu tahun 2012. Setelah tujuh tahun menjadi debitur lancar, Paijo hendak membeli saham dari tempatnya bekerja. Ia pun menguras seluruh tabunganya di bank utama, namun masih ada kekurangan.
Lalu, Paijo menghubungi temannya yang dulu memberi fasilitas kredit. Paijo hendak minta top up pinjaman sebesar Rp1 miliar lagi sehingga outstanding kreditnya menjadi Rp2 miliar. Pihak bank setuju dan minta tukar jaminan dari ruko menjadi rumah di Ciawi yang lebih ada “dagingnya” kalau dijual. Paijo pun menukar agunan dari ruko dengan rumah tinggal di Ciawi.
Itu tahun 2019. Selama tahun 2019 angsuran lancar, baik bunga maupun pokoknya. Tidak ada masalah. Kredit lancar jaya. Suku bunga 9% tetap (fixed rate) tiga tahun setelah itu floating rate. Paijo pun tanda tangan seluruh perjanjian kredit. Sepakat tanpa bisa protes tentang perjanjian baku itu.
Lalu, datanglah badai COVID-19. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerapkan kebijakan restrukturisasi kredit. Paijo pun mengajukan restrukturisasi kredit, karena gaji yang dibayarkan perusahaan tempatnya bekerja hanya 80%. Pihak bank pun setuju dengan hanya membayar bunga. Pokoknya ditunda dulu. Sepakat.
Tiga Kali “Dihisap” Bank
Namun, cerita “horor” mulai dari sini. Selain di bank pelat merah, istri Paijo punya fasilitas kredit di bank swasta besar. Istri Paijo pun minta restrukturisasi. Setuju juga pihak bank swasta yang punya cost of fund terendah di Indonesia.
“Horornya” di mana? Istri Paijo ditawari semacam subsidi bunga atau potongan bunga sebesar 3%. Katanya dari pemerintah yang menggelontorkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Nasabah UMKM dapat potongan. Sementara Paijo, yang menjadi debitur lancar di bank pelat merah, jangankan dipotong bunga, ditawari saja tidak.
Pertanyaan Paijo, seperti diceritakan ke penulis, perbedaan ini mungkin terletak pada fasilitas pinjaman: Paijo Rp2 miliar dan istri Paijo Rp1,5 miliar. Tapi, ketika hal itu ditanyakan ke petugas bank pelat merah, tentang potongan bunga dari pemerintah, pihak bank menjawab ringan. ”Salah bapak sendiri tidak minta potongan,” begitu kata petugas bank.
Di sinilah perbedaannya. Bank swasta memberi tahu debitur, sementara bank pelat merah ini memanfaatkan ketidaktahuan debitur. Itu juga seperti kenaikan suku bunga kredit yang tidak diumumkan ke debitur. Apalagi yang debit rekening ini. Pihak bank memanfaatkan ketidaktahuan debitur. Ini bisa jadi bukan hanya dialami Paijo, tapi bisa juga dialami Paimin, Pariyo, Pardi ataupun Parlan, yang jumlahnya tentu tidak sedikit.
Bank menjadi “pengisap” pertama ketika tidak diberi fasilitas PEN yang sumbernya dari APBN. Uang pajak untuk membantu debitur yang menjadi korban COVID-19 “dikantongi” bank. Bisa jadi bank mau mencetak laba besar setelah menjatuhkan kualitas kredit dengan membentuk cadangan besar. Bank-bank kalap dan tidak adil.
“Drakula” kedua, dari angsuran Rp25 juta menjadi Rp36 juta. Paijo baru sadar, yang biasanya rekening mengendap Rp50 juta untuk angsuran dua bulan, eh sejak April 2023 harus mengendap setidaknya Rp72 juta. Sampai akhirnya Paijo mengecek rekening, dan memang sejak April 2023, setiap usai gajian, langsung potong rekening Rp36 juta dari Rp25 juta. Sehingga, yang biasanya Paijo isi rekening Rp50 juta selalu tekor cukup untuk satu angsuran.
Apa yang terjadi? Selain program restrukturisasi kredit sudah berakhir, program diskon bunga juga sudah selesai. Suku bunga flat menjadi floating. Suku bunga dari 9% menjadi 14%. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, sampai Paijo bertanya kepada petugas bank, yang dijawab petugas bank, ”Bunga sudah naik.”
Sampai di sini, Paijo bisa paham. Lalu, Paijo pun hendak melunasi pinjamannya. Di sinilah Drakula ketiga muncul. Apa itu? Permohonan pelunasan lebih sulit dibandingkan “masuk surga”. Selain dipingpong, giliran dijawab, Paijo kena potongan 5%. Belum lagi biaya-biaya ini itu. Pelunasan sebagian dan seluruhnya dibilang sama dari outstanding. Tidak fair.
Hitung-hitung dari pinjaman Rp2 miliar yang tidak diterima seluruhnnya, karena biaya notaris, provisi, dan asuransi. Lebih ngeri lagi – sejak tahun 2019 hingga Agustus 2023, pinjaman Paijo masih pada angka Rp1,870 miliar. Padahal, tidak pernah macet, tidak pernah menunggak. Ini artinya Paijo, dari pinjaman Rp2 miliar (yang tidak diterima penuh karena potongan biaya) selama empat tahun hanya mengangsur pokok sekitar Rp130 juta. Jika diperhitungkan dengan biaya provisi dan biaya lain-lain, Paijo baru mengangsur pokok Rp50 jutaan. Sisanya bunga.
Paijo bisa saja salah. Perjanjian baku sudah ditandatangani. Baik soal denda pelunasan 5% maupun kenaikan suku bunga floating setelah tiga tahun fixed. Tapi, soal subsidi bunga dari APBN untuk debitur terkena COVID-19 yang tidak diberikan kepada debitur baik-baik, adalah bentuk “ketamakan” bank. Apa maksudnya?
Jelas. Debitur baik-baik dan lancar dihisap. Perlakuan ini berbeda dengan debitur kakap yang bisa direstrukturisasi berulang-ulang. Para konglomerat yang macet sudah pasti direstrukturisasi, bahkan sampai berulang-ulang, hanya untuk menjaga performa bank. Mau bukti?
Silakan perhatikan perilaku bank pelat merah sejak tahun 2005. Silakan ganti manajemen. Tidak harus semua. Salah satu saja dari bank pelat merah dari grup lain. Dijamin, manajemen baru melakukan jurus mautnya, yaitu menurunkan kualitas kredit. Langkah berikutnya bikin pencadangan yang besar. Tahun pertama kedua pasti labanya turun, setelah masuk tahun ketiga, masa “panen” laba pasti terbang tinggi. Tepuk tangan pun bergemuruh karena mampu meningkatkan laba, meski langkah write off tetap berjalan.
OJK Harus Ikut “Cawe Cawe”
Kembali ke soal Paijo yang mau melunasi pinjamannya yang dipersulit dan kena denda pelunasan. Alasannya lain bank selalu persoalan likuiditas yang digunakan untuk pinjaman jangka panjang. Dana jangka pendek untuk jangka panjang. Sejak Indonesia merdeka hingga HUT ke-78 tahun, persoalan dana jangka pendek untuk dana jangka panjang selalu ada dan dijadikan alasan. Padahal, namanya bank juga seperti arisan berantai – selama ada penabung ya tidak menjadi masalah. Bahwa mismatch dana itu ada, tapi mengapa dibesar-besarkan yang sejatinya tidak besar. Dan, hidup bank baik-baik saja.
Tentu tidak hanya Paijo nasabah baik ini. Ada Paiman, ada Paimin, Paimun, Paidi, Paidu, Paido, atau yang lain yang menjadi nasabah baik ini. Hari-hari ini, promo bunga untuk menjerat debitur bisa saja usai. Suku bunga dari 9% (fixed rate) menjadi 14% (floating rate) itu menghitungnya dari mana. Padahal, cost of fund pun tidak sampai naik 2%. OJK perlu melihat kecurangan dalam menghitung kenaikan suku bunga ini. Bank sering tidak jujur ketika suku bunga kredit turun, tapi kalau suku bunga naik lanngsung sat-set naiknnya. Itulah OJK musti “cawe-cawe” soal strategi jebakan batman dalam menjual KPR dengan istilah bunga promo ini.
Paijo telah rela “dihisap” oleh bank. Namun, yang perlu diperhatikan oleh OJK adalah mengenai perjanjian baku. Soal denda pelunasan. Denda 5% itu besar. Apalagi, baik pelunasan sebagian maupun seluruhnya. Mau kredit kena “palak” provisi dan komisi, mau melunasi kena denda. Bayar lancar pun tidak mendapat reward. Justru makin “dihisap”. Bank tak ubahnya pinjol dalam sekala berbeda.
Apakah perlu menjadi debitur “sontoloyo”? Paijo tetap memilih untuk melunasi pinjamannya meski terkena “palak” denda. Paijo lebih memilih tidak masuk SLIK, meski saat ini pemerintah sedang cuci gudang penghapusan kredit macet yang diusulkan bank-bank pelat merah yang menghisap debitur baik-baik seperti dialami Paijo.
Juga, melupakan kenaikan bunga “suka-suka” yang tanpa pemberitahuan lebih awal. Paijo yang sudah pensiun rela tidak mengingat perlakuan petugas bank yang tidak memberikan subsidi bunga dari APBN karena program PEN di tahun 2020, 2021, dan 2022. Subsidi untuk debitur itu diambil bank untuk kontribusi laba.
Semoga tidak ada lagi Paijo lain, sang debitur lancar, yang karena ketidaktahuannya akhirnya diisap bank. Dan, Paijo benar. Jika kita menjadi debitur kecil, maka ”Surga ada di telapak kaki bankir”. Sebaliknya, jika Anda debitur besar, “Surga ada di telapak kaki konglomerat” Lalu, siapa sebenarnya konglomerat yang kreditnya lewat bank-bank milik negara tapi simpanannya di bank-bank Singapura?
Para konglomerat yang punya kredit besar-besar ini dipuja-puja bankir pelat merah. Dan, Pak Jokowi, Presiden RI, harus tahu nasib debitur kecil yang lancar dan baik-baik saja yang “dihisap” oleh bank karena takut masuk daftar black list OJK (SLIK). Pak Jokowi harus ikut “cawe-cawe” soal ini, dan tak melulu “cawe-cawe” soal Capres dan Cawapres semata.
Dirgahayu ke 78 Tahun Kemerdekaan RI.