Jakarta – Menurut Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI), Haryanto Tiara Budiman, penutupan Silicon Valley Bank (SVB) pada Jumat (10/3) pekan lalu tidak akan mengguncang bank-bank di Indonesia.
“Sebab, bank-bank di Indonesia tidak memberikan pembiayaan dan investasi kepada perusahaan-perusahaan start-up, serta tidak memiliki hubungan bisnis, credit facility line, dan investasi pada produk sekuritisasi SVB,” ujar Haryanto kepada TheFinance, Rabu (15/3).
Apa yang terjadi pada SVB, kata Haryanto, memberikan dampak terutama bagi US Treasury sendiri, bukan sektor perbankan negara lain, termasuk Indonesia. Problem utama mereka ada pada ketidaksesuaian pengelolaan aset dan krisis likuiditas.
“Karena pembiayaan besar industri start-up yang banyak belum menyetor modal dalam jumlah besar, mereka terpaksa menjual aset Available for Sale (AFS) sekuritas secara substansial, dan obligasi negara senilai $21 miliar atau sekitar Rp324,35 triliun,” ungkapnya.
Di tengah situasi sulit tersebut, lanjut dia, wajar bila para investor dan pemilik dana di SVB buru-buru menarik dan mengamankan dana mereka, sehingga terjadi ”bank run” yang akhirnya melumpuhkan bank secara likuiditas.
“BCA sendiri selalu melaksanakan dengan prudent apa yang telah menjadi regulasi OJK dalam hal penerapan manajemen risiko, pengelolaan portofolio aset produktif, dan pendanaan yang berdampak terhadap kinerja keuangan bank,” ungkap Haryanto yang juga Managing Director BCA itu.
Bank dengan kode emiten BBCA yang merupakan bank dengan nilai market cap terbesar se-Asia Tenggara ini selalu meningkatkan fungsi dan peran asset & liability committee dalam mengelola aset dan kewajiban, serta meng-evaluasi kecukupan pencadangan risiko secara komprehensih dan berkala.
Penulis: Darto W.