Di tengah kekacauan yang disebabkan oleh perang dagang, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) muncul dengan gagasan baru berupa pakta perdagangan. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) hadir sebagai sebuah harapan, yang diyakini akan menjadi episentrum perdagangan dunia yang baru. Harapan ini bukanlah antusiasme semata, karena efek dari pakta perdagangan bebas di salah satu kawasan regional terbesar ini akan sangat menopang perekonomian, bukan hanya perekonomian kawasan, tapi juga perekonomian global.
RCEP merupakan sebuah pakta perdagangan bebas dengan tujuan menyatukan negara-negara anggota Asean dengan keenam mitra dagang mereka di kawasan Asia Pasifik. Keenam mitra dagang tersebut ialah Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru, yang masing-masing telah memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Asean, yakni Asean-China Free Trade Area (AC-FTA), Asean-Japan Economic Partnership Agreement, Asean-Korea FTA, Asean-India FTA, dan Asean-Australia New Zealand FTA.
Dengan adanya RCEP, Asean dengan keenam negara yang menjadi mitra dagangnya dapat bersatu, dan mengadakan perdagangan, maupun kerja sama multilateral terkait ekonomi lebih fleksibel dan luas, karena sudah tidak ada lagi sekat antara satu blok dengan yang lainnya. Situasi ini kemudian akan memicu inklusifitas ekonomi di tengah maraknya gagasan proteksionisme yang disebabkan oleh perang dagang.
“RCEP akan menjadi episentrum perdagangan dunia baru. Kita tahu, AS sedang disibukkan dengan masalah proteksionismenya dan konflik dengan Tiongkok. Uni Eropa sedang ribet dengan merenggangnya integrasi antarnegara anggota. Ke depan Asia menjadi kunci perdagangan dunia, terlebih dengan adanya RCEP,” kata Mari Elka Pangestu, Ekonom Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), pada simposium internasional Asia’s Trade and Economic Priorities 2020, Oktober lalu.
Bukan hanya menjadi kunci perdagangan dunia, kehadiran RCEP diyakini dapat membantu negara-negara Asean mengelola ketegangan perdagangan dunia. Hal itu disampaikan oleh Perdana Menteri Thailand, Prayut Chan-o-cha. “RCEP akan membantu ASEAN mengelola perubahan dan ketidakpastian di kawasan ini, terutama dalam hal ketegangan perdagangan antara mitra dagang penting ASEAN,” ujarnya, saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-35 yang berlangsung di Bangkok, Thailand, awal November lalu.
Itulah mengapa, perundingan RCEP dipercepat beberapa waktu belakangan ini, mengingat adanya urgensi akibat memanasnya suhu ekonomi global, yang telah membuat negara-negara Asia Tenggara, serta Asia Pasifik saling tarik-menarik kepentingan dagang. Eksistensi RCEP yang didasarkan pada asas saling menguntungkan dan menghormati akan memperkuat kembali hubungan antarnegara, sehingga bisa meredakan situasi yang sedang memanas.
Pada KTT ASEAN ke-35, negara-negara ASEAN beserta lima negara lainnya telah menyepakati perjanjian RCEP, dan tinggal India yang belum menyatakan kata sepakat atas perjanjian itu karena kekhawatiran negara tersebut atas impor barang murah Tiongkok yang diyakini bisa menggerus habis industri kecil di negara itu. Namun demikian, ASEAN beserta ke-5 negara mitra (kecuali India) sudah sepakat untuk menandatangani perjanjian RCEP pada 2020. India pun diperbolehkan bergabung ke dalam pakta RCEP kapanpun ketika negara itu sudah siap.
Perundingan RCEP yang telah berlangsung selama kurang lebih 7 tahun ini sudah cukup menghabiskan banyak waktu dan energi. Keterlibatan banyak negara dengan beragam kepentingan dan kemauan dari masing-masing negara membuat kata sepakat atas perjanjian perdagangan bebas kawasan ini susah terwujud. Belum lagi pergantian pemimpin dan menteri dari masing-masing negara yang terlibat membuat perundingan penyelesaian pakta RCEP ikut terhambat karena adanya tujuan dan rencana baru yang dibawa oleh kabinet baru dari tiap-tiap negara.
Bisa dikatakan sebuah keuntungan untuk mempercepat kesepakatan RCEP, kemunculan perang dagang dan keluarnya AS dari penjanjian perdagangan bebas Trans Pacific Partnership (TPP) membuat negara-negara ASEAN terpanggil untuk bersatu dalam penyelesaian kesepakatan pakta RCEP.
Di lain sisi, posisi Indonesia pada pakta RCEP nyatanya tak bisa dipandang sebelah mata. Indonesia ternyata adalah negara penggagas pakta tersebut. Ide dan konsep RCEP pertama kali digulirkan ketika KTT ke-19 ASEAN tahun 2011 di Bali. Selanjutnya, ASEAN yang didukung oleh enam negara mitra FTAs (Tiongkok, Korea, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India) menyepakati Guiding Principle for Negotiating RCEP dan meluncurkan perundingan RCEP pada KTT ke-21 ASEAN tahun 2012 di Kamboja. Indonesia sebagai negara pencetus dan pengembang ide RCEP pun dijadikan Negara Koordinator dan Ketua Komite Perundingan RCEP, sekaligus sebagai Ketua Perunding ASEAN.
Posisi Indonesia setelah berlakunya RCEP pun juga diuntungkan, karena peningkatan ekspor dan investasi. Peningkatan ekspor diprediksi dapat meningkat hingga 11%, atau bahkan 22% bila ditopang oleh investasi yang masuk. Indonesia hanya perlu memperbaiki ribetnya peraturan perizinan untuk mempermudah para investor asing menanamkan modalnya di Indonesia. Seperti diketahui, pemerintah pun kini tengah menggodok omnibus law untuk mengkerek investasi langsung luar negeri.
Persiapan matang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia, karena pakta RCEP akan memberikan banyak manfaat kepada Indonesia serta negara ASEAN lainnya dalam bentuk peningkatan akses pasar, investasi, dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam rantai pasok kawasan yang berujung pada peningkatan ekspor. Steven