Dengan luas hutan Indonesia yang mencapai 36,5 juta hektare, Indonesia diperkirakan bisa meraup keuntungan Rp1.400 hingga Rp1.600 triliun dari pasar karbon dunia. Potensi yang sangat sayang untuk dilewatkan jika tak dikelola secara serius.
Saat ini dunia tidak hanya sedang diombang-ambingkan oleh permasalahan politik dan ekonomi yang proteksionistis, tapi juga permasalahan lainnya, yang bahkan membawa dampak lebih kejam terhadap dunia. Isu lingkungan hidup selalu hangat dibicarakan. Isu ini menjadi salah satu isu fenomenal selain isu politik. Bagaimana tidak, negara-negara di dunia sepertinya selalu dibuat pusing tujuh keliling ketika disinggung mengenai isu ini di wilayah mereka.
Yang menjadikan isu satu ini kompleks adalah manusia itu sendiri. Saat ini istilah carbon credit sedang ramai diberitakan. Apa itu carbon credit? Apa keuntungan yang diperoleh dari carbon credit? Itu adalah pertanyaan yang mungkin timbul mengingat istilah ini merupakan istilah baru di publik. Carbon credit atau perdagangan karbon adalah aktivitas penyaluran dana dari negara penghasil emisi karbon kepada negara dengan potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon secara alami.
Ini semua bermula dari Protokol Kyoto 1997 yang merupakan ratifikasi lanjutan dari Konvensi Kerangka Kerja Sama Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC-United Nations Framework Convention on Climate Change) yang disetujui pada KTT Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Pada Protokol Kyoto 1997 inilah semua hal mengenai detail pengurangan gas rumah kaca dijabarkan, yang kemudian menghasilkan kebijakan perdagangan emisi karbon atau carbon credit.
Melalui mekanisme carbon credit, perusahaan atau pabrik yang mengeluarkan emisi yang akan membeli carbon credit. Praktik perdagangan karbon antarnegara ini sebenarnya sudah lama berlangsung di Tanah Air. Hanya saja, praktik ini belum ada regulasinya. Maka dari itu, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah menyusun regulasi perdagangan karbon yang ditargetkan selesai pada tahun ini agar Indonesia bisa “menjual” potensi tersebut dan menambah pemasukan negara.
Pertanyaan selanjutnya ialah seberapa menguntungkannya carbon credit ini? Tentunya bila sistem ini tak memberikan keuntungan besar, untuk apa Pemerintah Indonesia secara antusias memperjuangkannya. “Indonesia memiliki 75% sampai 80% carbon credit dunia dari hutan, mangrove, gambut, rumput laut, hingga terumbu karang,” ujar Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, saat menjadi keynote speaker pada acara “Global Research Briefing Standard Chartered 2020” di Jakarta, beberapa waktu lalu. Dengan luas hutan Indonesia yang mencapai 36,5 juta hektare, Indonesia diperkirakan bisa meraup keuntungan Rp1.400 hingga Rp1.600 triliun dari pasar karbon dunia. Potensi yang sangat sayang untuk dilewatkan jika tak dikelola secara serius.
Itu dari sisi keuntungan materi. Lalu, bagaimana dengan keuntungan yang dihasilkan untuk bumi atau kelestarian alam?
Carbon credit sepertinya memberikan kelegaan kepada industri atau perusahaan yang selama ini sudah mencemari udara melalui emisi karbondioksida. Munculnya kebijakan ini membuat pelaku industri di negara maju dapat menghemat biaya dan melakukan efisiensi dalam kewajiban pelestarian alam. Para pakar lingkungan hidup pun mulai bersuara. Mereka mulai mempertanyakan dampak nyata dari adanya carbon credit.
“Negara-negara berkembang yang dianggap masih memiliki carbon credit yang banyak dibandingkan dengan negara industri bisa menjual carbon credit-nya kepada negara-negara yang melakukan emisi, jadi sebenarnya itu hanya jual beli di atas kertas. Dari sisi negara maju tidak benar-benar menurunkan emisinya secara konkret,” kata Direktur Eksekutif WALHI Nasional, Nur Hidayati, di Jakarta, Desember lalu.
Wajar saja bila para pakar dan aktivis lingkungan hidup bersikap kritis terhadap kebijakan perdagangan emisi karbon ini karena perdagangan ini sebenarnya membawa misi untuk kelestarian lingkungan hidup. Maka, sistem perdagangan emisi karbon pun harus benar-benar memberikan dampak konkret bagi alam.
Pemerintah sebaiknya benar-benar mempelajari secara utuh dan membuat regulasi yang terperinci sebelum terjun dalam pasar perdagangan karbon. Jangan hanya menjadikan pasar karbon sebagai sumber devisa baru. “Ini adalah sistem ‘pay for performance’ bukan yang jual belinya di mana ada komitmen lalu uang akan langsung ada. Tapi, negara yang membeli carbon credit dari Indonesia akan melihat apakah dalam sekian tahun yang dikomitmenkan benar-benar menurunkan emisi,” tegas Nur Hidayati. (SW)
Selengkapnya, baca Majalah Infobank No.502, Februari 2020.
Hub. Sirkulasi Infobank: 021-7253127