Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa undang-undang di Indonesia tidak ada yang mengatur jenis sistem pemilu legislatif atau pileg. Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik”, dianggap tidak serta-merta berarti dikehendakinya sistem pileg proporsional daftar calon tertutup, yang mana konstituen atau pemilih hanya memilih partai politik saat pileg.
Setelah meneliti lebih dalam maksud dan tafsir sistematis terhadap pasal tersebut, majelis hakim MK justru menyatakan bahwa sekalipun konstitusi tidak mengatur jenis sistem pemilu, sistem proporsional daftar calon terbuka dinilai lebih dekat dengan konstitusi.
“Sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat kepada sistem pemilihan umum yang diinginkan oleh UUD 1945,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra, saat sidang pembacaan putusan perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tentang sistem pileg, Kamis, 15 Juni 2023.
Penelusuran tujuan asli dari pasal itu diteliti MK melalui proses perumusan UUD 1945 oleh para pendiri bangsa, dan dinamika yang berkembang saat proses amandemen UUD 1945 di Era Reformasi. Saat itu, MK menjelaskan, lebih banyak aspirasi soal penerapan pileg sistem distrik. Aspirasi lain adalah sistem proporsional daftar calon terbuka.
Aspirasi untuk sistem proporsional daftar calon tertutup hanya sedikit mengemuka. Dari segi pembacaan sistematis, MK menegaskan bahwa konstitusi mengatur kedaulatan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa secara konseptual dan praktik, sistem pemilu adalah ranah pembentuk undang-undang, baik itu sistem proporsional daftar calon terbuka atau tertutup, maupun sistem distrik.
“Sebagai pilihan pembentuk undang-undang tetap terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan pemilihan umum,” sambung Saldi.
MK memberi rambu-rambu yang perlu dipertimbangkan pembentuk undang-undang seandainya hendak mengubah sistem pileg. “Pertama, tidak terlalu sering melakukan perubahan, sehingga dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilihan umum. Kedua, kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum,” jelas Saldi.
“Ketiga, kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan,” tambahnya.
Keempat adalah kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
“Kelima, apabila dilakukan perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.”
Dengan landasan yang ada itu, maka majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk mengubah sistem pemilihan pileg ke proporsional daftar calon tertutup. “Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh hakim konstitusi lain (minus Wahiduddin Adams), dalam sidang pembacaan putusan, hari ini, Kamis (15/6).
Penulis: Steven Widjaja