Kalah Bersaing Sampai Efisiensi Biaya, Dianggap Jadi Pemicu PHK Massal Pabrik

(Foto: Net)

Jakarta – Ribuan buruh terancam kehilangan pekerjaannya karena gelombang PHK massal yang kini menghantam sejumlah pabrik. Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) saat ini tengah melakukan upaya mediasi proses pemangkasan pada 9 pabrik.

Pemangkasan ini berupa merumahkan karyawan atau langsung melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi akibat kebijakan pengurangan kapasitas, penutupan pabrik, hingga relokasi pabrik ke wilayah yang lebih efisien secara biaya.

“Saya berani bilang, 80% industri tekstil, garmen dan sepatu alami efisiensi pekerja dengan PHK sampai ada yang tutup,” tutur Presiden KSPN Ristadi, seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin, 5 Juni 2023.

Lebih lanjut, Ristadi membeberkan penyebab PHK massal para pekerja di industri padat karya Indonesia. Menurutnya, penurunan permintaan ekspor menjadi salah satu biang kerok dari PHK massal yang menimpa ribuan buruh ini.

“Sektor tekstil mengalami kondisi lebih parah dibandingkan sepatu (alas kaki). Industri tekstil dan garmen itu merata di Jakarta, Banten, Jawa Barat, sampai Jawa Tengah, banyak perusahaan tutup, merumahkan karyawan,” katanya.

“Perusahaan-perusahaan orientasi ekspor mengalami penurunan order atau tidak ada order sama sekali. Kalau sepatu, yang ekspor, beberapa brand masih melakukan order (pembelian),” tambahnya.

Sementara itu, bagi pabrik yang berfokus pada pasar lokal, malah tergerus dengan produk impor, baik yang legal maupun ilegal seperti barang bekas.

“Kami sudah puluhan tahun menyuarakan ke pemerintah soal kesulitan akibat impor. Pemerintah juga memang susah, antara pengusaha yang pro-impor dan yang mau setop impor,” terang Ristadi.

“Padahal permintaan di dalam negeri masih bagus, tapi karena diisi barang impor dari Tiongkok yang lebih murah, diserbu sepatu bekas Singapura dengan harga murah, industri di dalam negeri jadi tidak sanggup bertahan,” bebernya.

Di samping tak sanggup menghadapi kompetisi pasar, PHK massal juga diakibatkan oleh relokasi pabrik. “Ada juga memang perusahaan yang melakukan relokasi. Seperti salah satu perusahaan di Banten, memproduksi sepatu. Perlahan-lahan dia memangkas karyawannya. Tapi dia juga sudah mulai membangun pabrik di daerah lain. Perlahan-lahan pekerja yang di pabrik asal tentu akan di-PHK.”

Ristadi menerangkan, semua fenomena PHK yang ada ini tidak bisa dilepaskan dari niat perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya.

“Kalau ordernya turun atau tak ada sama sekali, ada pabrik yang harus menurunkan kapasitas. Ada juga yang tutup, bahkan sampai dipailitkan,” ungkapnya.

“Saya sendiri sebenarnya hati-hati menyebutkan nama perusahaan, apalagi kalau perusahaan besar. Karena, begitu kabar efisiensi tersebar, trust dari perbankan jadi turun. Akibatnya, sektor ini akan terkena dampak.”

Menurut Ristadi, sektor industri padat karya telah mengalami tekanan sejak pandemi Covid-19, yang dipicu dari terhambatnya rantai pasok. Hal ini turut dipicu oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan utama ekspor tekstil, garmen, dan sepatu, seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Di satu sisi, biaya produksi terus meningkat, sehingga mendorong perusahaan untuk melakukan efisiensi jumlah pegawai atau relokasi pabrik.

“Kalau dia punya modal besar, tentu bisa pilihannya langsung relokasi. Dia mencari lokasi yang biayanya bisa lebih efisien. Karena buyer itu kan ordernya dengan harga yang sama, sehingga perusahaan di sini harus mencari cara agar biaya bisa ditekan,” katanya.

“Bicara biaya, dari segi upah misalnya. Di Serang upah minimumnya Rp4-4,5 jutaan, sedangkan di Pekalongan Rp2 jutaan. Artinya, jika dia relokasi, berarti upah 1 orang di Serang, bisa 2 orang di Pekalongan,” tuturnya.

Akibatnya, pekerja di lokasi pabrik semula akan terkena PHK. Meskipun di lokasi yang baru, akan ada rekrutmen baru.

“Kan nggak mungkin pekerja mau pindah dari yang gaji lebih tinggi ke daerah gaji lebih rendah,” kata Ristadi.

“Sebenarnya memang ada salah persepsi upah minimum di Indonesia. Perusahaan seolah, yang penting sudah patuhi aturan upah minimum, dan menjadikan itu upah maksimum. Akibatnya, pekerja yang baru masuk dan yang sudah puluhan tahun bekerja, upahnya sama.”

 

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *