Kinerja Ekonomi Tiongkok Menurun, 13.500 Miliunernya Pilih Hengkang

Salah satu crazy rich Tiongkok, Jack Ma. (Foto: Net)

Jakarta – Tanda-tanda bahwa ekonomi Tiongkok terus mengalami penurunan semakin terlihat dari banyaknya orang kaya atau crazy rich Tiongkok yang pindah ke luar negeri.

Dikutip dari Business Insider yang melaporkan data Henley Private Wealth Migration Report 2023, sudah ada 10.800 crazy rich Tiongkok yang kabur meninggalkan negaranya pada 2022. Jumlah ini diprediksi lebih besar lagi di tahun ini dengan angka mencapai 13.500 orang miliuner diperkirakan kabur.

Pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang kuat selama periode 2000 sampai 2017 telah meningkatkan jumlah miliuner Tiongkok secara drastis. Bila diestimasi, jumlah warga Tiongkok dengan kekayaan di atas US$1 juta atau sekitar Rp14,9 miliar sebanyak 823.800 orang. Akan tetapi, jumlah ini menurun sejak adanya perselisihan dengan Amerika Serikat, yang diperparah oleh pandemi Covid-19.

Ekonomi Tiongkok yang susah bangkit sekalipun telah menerapkan kebijakan zero Covid semakin menekan jumlah miliuner di sana. Kebijakan presiden Tiongkok, Xi Jinping, yang mendesak para pengusaha untuk “berbagi hasil pertumbuhan” demi mencapai kemakmuran bersama, pada akhirnya ikut mendorong para miliuner meninggalkan negaranya.

Untuk menumbuhkan bisnis saja saat ini sulit di Tiongkok, sebagaimana bisa dilihat pada sektor manufaktur negeri Tirai Bambu yang mengalami kontraksi cukup dalam. Pabrik-pabrik mengalami penurunan aktivitas produksi. Hal ini pun bisa berimbas ke tenaga kerja karena dapat memicu PHK massal.

Purchasing managers’ index (PMI) Tiongkok pada bulan Mei turun ke 48,8, jadi yang terendah di tahun ini. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya mengindikasikan ekspansi.

Ke depannya, ekonomi Tiongkok diperkirakan tidak dapat tumbuh tinggi lagi. Direktur Pelaksana Dana Moneter International (IMF), Kristalina Georgieva, telah menyarankan negeri Tirai Bambu untuk segera berfokus pada penyeimbangan perekonomian ketimbang mencari pertumbuhan tinggi. Kristalina menyarankan agar Tiongkok shifting dari pertumbuhan yang ditopang investasi ke sektor konsumsi.

Saat berpidato pada acara China Development Forum, Minggu (26/3/2023) di Beijing, Kristalina mengatakan bahwa pertumbuhan yang disokong sektor konsumsi akan tahan lama, mengurangi ketergantungan terhadap utang, serta membantu mengatasi perubahan iklim.

Di satu sisi, Michael Pettis selaku profesor finansial Guanghua School of Management di Peking University memprediksi pertumbuhan Tiongkok tidak akan melewati 3% dalam beberapa tahun ke depan bila menerapkan kebijakan penyeimbangan ekonomi.

Dalam tulisannya yang dimuat oleh Carnegie Endowment, Michael menyatakan bahwa Tiongkok perlu menerapkan kebijakan penyeimbangan ekonomi. Negara yang saat ini menjadi negara dengan investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia ini, bisa saja mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari 3% dalam penerapan kebijakan penyeimbangan ekonomi jika ada pertumbuhan konsumsi yang substansial.

 

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *