Semakin hari kasus positif Corona Virus Desease 2019 atau Covid-19 di Indonesia semakin bertambah jumlahnya. Lantaran penyebarannya sangat masif dan meresahkan, pemerintah menghimbau agar masyarakat melakukan pola social distancing yakni dengan menerapkan kerja dari rumah, belajar dari rumah, hingga ibadah dari rumah sebagai langkah untuk mengantisipasi agar penyebaran Covid-19 tidak semakin meluas.
Selain mengancam kesehatan, pandemi Covid-19 juga mengancam perekonomian Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan perekonomian dalam negeri pada 2020 hanya akan tumbuh di kisaran 2,3%, atau turun setengahnya dibanding realisasi pertumbuhan ekonomi 2019 yang mencapai 5,02%. Bahkan akibat dampak wabah ini juga, dalam skenario terburuk ekonomi Indonesia bisa minus 0,4%. Imbasnya, sektor-sektor seperti rumah tangga, korporasi, sektor keuangan, hingga sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) berpotensi besar akan tertekan.
Sektor UMKM yang berhasil menjadi payung bagi Indonesia ketika menghadapi badai krisis ekonomi dan keuangan pada 1998 dan 2008 pun, diramalkan banyak orang bakal menjadi sektor yang paling rentan terdampak akibat pandemi Covid-19 ini. Ancaman yang datang di sektor ini merupakan imbas dari tidak berjalannya kegiatan usaha di masyarakat. Akibatnya, kemampuan UMKM dalam memenuhi kewajiban terkait kredit perbankan jadi terganggu. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di industri perbankan untuk sektor UMKM pun berpotensi melonjak, sehingga semakin memperburuk kondisi perekonomian.
Sebagai upaya untuk menahan laju perlambatan ekonomi akibat Covid-19, pemerintah mengeluarkan beberapa stimulus. Salah satunya dengan memberi keringanan berupa penangguhan atau relaksasi pembayaran kredit selama satu tahun bagi ojek daring (dalam jaringan), sopir taksi, dan UMKM yang memiliki jumlah kredit di bawah Rp10 miliar.
Sebenarnya, kebijakan ini mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 11 Tahun 2020 tentang penyelamatan dunia usaha yang terdampak Covid-19. Bentuknya pun lebih mengarah pada restrukturisasi kredit, yang didalamnya terdapat beberapa opsi seperti penurunan bunga, penundaan pembayaran, hingga keringanan cicilan sesuai kebijakan yang diterapkan dari masing-masing bank.
Berbicara sektor UMKM, sektor ini sendiri merupakan pasar utama bagi industri bank perkreditan rakyat (BPR). Berbeda dengan bank umum yang memiliki beberapa lini atau segmen kredit, mayoritas BPR justru menggantungkan hidupnya pada segmen mikro – yang menjadi bagian dari UMKM. Jika para pelaku UMKM benar-benar diberi relaksasi kredit selama satu tahun karena terimbas Covid-19, nasib BPR bisa jadi bakal semakin tertekan. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan lebih lanjut terkait kompensasi bagi industri BPR dalam menjalankan stimulus pemerintah ini.
Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) menilai, kebijakan relaksasi kredit tersebut akan menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda di masyarakat. Hal ini juga berpotensi menciptakan moral hazard untuk tidak membayar angsuran kredit. Akibatnya, industri BPR akan kesulitan dalam melakukan penyisihan dan pencadangan risiko kredit sesuai ketentuan dan regulasi. Oleh karena itu, Perbarindo telah mengajukan permohonan kepada otoritas keuangan terkait relaksasi ketentuan dan peraturan bagi industri BPR.
“Untuk sementara ini kita usulkan supaya bisa diperingan, khususnya dalam penyusunan atau pembebanan dari penyisihan aktiva produktif. Dengan demikian, maka dampak Covid-19 di satu sisi kita bisa memberikan stimulus kepada masyarakat berupa penyesuaian kembali atau restrukturisasi (kredit) kembali, tapi di sisi industri tidak terbebani biaya yang besar,” ujar Ketua Umum Perbarindo, Joko Suyanto.
Setali tiga uang, Direktur Utama BPR Arta Yogyakarta Deden Eko Handoyo mengungkapkan, kebijakan relaksasi kredit tidak dibarengi dengan literasi dan edukasi yang memadai di masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat benar-benar menganggap kebijakan ini hanya penundaan pembayaran angsuran selama setahun.
“Yang sulit, industri BPR kemudian harus memberikan literasi dan edukasi ke masyarakat bahwa penundaan yang dimaksud oleh Bapak Presiden itu mekanismenya melalui POJK No. 11 Tahun 2020, yakni melalui restrukturisasi. Harapan saya, pemerintah seiring dengan industri untuk memberikan literasi kepada masyarakat. Meski di POJK mengatakan sesuai dengan kemampuan dan assessment BPR, namun ini tidak tersosialisasikan ke masyarakat. Sehingga masyarakat melihatnya, Bapak Presiden mengatakan sebagai penundaan pembayaran angsuran,” ujarnya.
Untuk mengantisipasi dampak Covid-19, BPR yang dipimpin Deden sudah menerapkan restrukturisasi kredit berupa penundaan. Penundaan yang dimaksud ialah hanya pada angsuran pokok, namun angsuran bunga tetap berjalan dan skema lainnya ialah perpanjangan jangka waktu atau tenor. “Kalau dua hal itu tidak bisa dilakukan, pastinya akan terjadi likuiditas yang tidak bagus di perbankan,” pungkasnya.
Kinerja industri BPR sendiri di 2019 relatif baik. Meski berada di tengah gempuran para pesaing seperti bank umum, kredit usaha rakyat (KUR), serta financial technology (fintech), beberapa pos keuangan BPR seperti aset, dana pihak ketiga (DPK), dan penyaluran kredit mampu tumbuh double digit. Aset industri BPR per 2019 juga mampu tumbuh 10,37% (year on year/yoy) menjadi Rp149,62 triliun. Sementara DPK dan kreditnya masing-masing tumbuh 11,51% dan 10,76% menjadi Rp102,54 triliun dan Rp108,78 triliun.
Namun, pertumbuhan ini juga dibarengi dengan naiknya rasio kredit bermasalah atau NPL di industri BPR. Per akhir 2019, NPL industri rural bank mencapai 6,81%. Tentunya, akibat pandemi Covid-19, NPL BPR berpotensi akan naik lebih tinggi lagi.
Meski perekonomian nasional tengah terancam karena Covid-19, kebijakan antisipatif yang dikeluarkan pemerintah terlihat belum berpihak kepada industri rural bank. Padahal BPR juga berperan penting dalam menjaga stabilitas keuangan dengan kegiatan operasionalnya sebagai mitra usaha permodalan bagi sektor mikro. Sudah seharusnya pemerintah beserta pihak-pihak terkait mendukung penuh keberlangsungan BPR yang berperan sebagai ujung tombak bagi kemajuan pemerataan ekonomi di daerah. Terlebih, di tengah masa pandemi Covid-19 seperti ini.