OPINI PUBLIK

Memperhatikan berlarut-larutnya sengkarut upaya proses perbaikan dan penyehatan perusahaan Asuransi Tertua di Indonesia yaitu AJB Bumiputera 1912, sudah sepatutnya menjadi keprihatinan dan sikap yang padu seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk bangsa dan negara. Kasus utama berupa ketidakjelasan kesanggupan untuk membayar klaim para nasabah yang semakin tertunda dan membengkak, mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut benar-benar dalam situasi keterpurukan yang dalam. Jika hal ini tidak lekas dibenahi dengan upaya yang tepat melalui suatu skema yang bersifat “emergency”, maka tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan tersebut bisa saja menuai kepailitan dengan menyisakan sejarah yang pilu.

Dengan melihat dan menilai berbagai aspek tentang perusahaan, dimulai dari sejarah keberadaannya yang kini telah mencapai usia lebih dari 108 tahun dengan tetap menyandang status badan hukum Mutual (Usaha Bersama), maka tak bisa di elakkan, bahwa keunikan bentuk usaha perusahaan tersebut harus diakui sebagai bentuk usaha yang kuat dan baik. Namun, kini menjadi dilematis dan membuat tanya berbagai pihak “bagaimana bisa terjadi situasi dan kondisi seperti sekarang ini?”.

Jika kita flashback dan mencari informasi atau pendapat dari sumber dan narasumber yang membahas dan menyinggung berbagai hal tentang AJB Bumiputera 1912, maka sepantasnya “telah cukup” semua itu menjadi khasanah referensi untuk para pihak yang berkepentingan. Selanjutnya, jika semua itu diramu dengan formulasi yang tepat, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan kajian-kajian dan rekomendasi ideal yang dapat diambil sebagai keputusan paling tepat dan cepat.

Menelisik dan mengamati perjalanan upaya-upaya yang dilakukan oleh AJB Bumiputera 1912 untuk bangkit dari keterpurukan, sebagaimana di dasari oleh hal-hal di atas, maka dapat dirangkum akar masalah utama perusahaan sebagai berikut:

1. Kondisi dinamika organ utama sebagai pengurus pada perusahaan yang tak kunjung usai sejak kurang lebih satu dekade terakhir, bahkan saat ini nyaris perusahaan tanpa memiliki organ utama. Hal ini mengakibatkan tidak tuntasnya focus dari setiap upaya yang sedang ditempuh sebagai imbas dari perubahan kebijakan dan/atau strategi perusahaan yang diusung pada setiap era kepemimpinan. Kondisi terkini diperparah dengan kosongnya organ tertinggi perusahaan (BPA) sebagai representasi dari pemilik perusahaan, sehingga bisa diibaratkan perusahaan ini tak terarah karena berjalan tanpa lokomotif.

2. Peran regulator yang mungkin belum in charge secara total, dalam mengawal upaya yang sedang dijalankan oleh perusahaan. Hal ini, dapat di-indikasi-kan dari kesan yang masih berlarut-larut masih sebatas pada perintah dan rekomendasi. Sehingga hal ini masih berkibat potensial untuk dilanggar dan/atau tidak dijalankan sepenuhnya.

3. Munculnya berbagai pihak yang sejatinya menginginkan perusahaan ini segera membaik, namun masih terkesan berjalan sendiri-sendiri dan belum bersinergi secara utuh untuk berpadu menyelaraskan tindakan dalam harmonisasi penguatan demi penyelamatan perusahaan.

Berdasarkan 3 hal akar masalah utama perusahaan tersebut di atas, maka dapat dilakukan upaya-upaya berikut:

1. Organ tertinggi perusahaan yang terlanjur kosong, harus diambil alih terlebih dahulu oleh kekuatan lebih tinggi yaitu regulator (OJK) sebagai pelindung dari lembaga tersebut. Selanjutnya, kekosongan ini diisi dengan segera melalui mekanisme “Luar Biasa” dengan menerapkan prinsip-prinsip mengacu undang-undang yang dinilai mampu mengkomodir hal tersebut, yaitu Undang-undang nomor 21 tahun 2011 tentang “Otoritas Jasa Keuangan”. Tentu saja hal ini dimaksudkan sebagai upaya agar perusahaan segera memiliki lokomotif terlebih dahulu yang selanjutnya akan membawa dan menentukan kemana arah berjalannya perusahaan. Dalam situasi saat ini, adapun yang dapat dilakukan oleh Regulator adalah dengan menetapkan Pengelola Statuter (PS) sebagaimana pasal 8 huruf “g” Undang-undang tersebut.

2. Tujuan Utama peran regulator dalam pengambil-alihan status perusahaan sebagaimana point “1” di atas, harus dijadikan “guideline” dan skema terbaik untuk penyelamatan perusahaan. Selanjutnya guideline ini bisa menjadi dasar untuk menentukan siapakah pihak yang tepat dan mampu untuk menjalankannya. Sehingga dalam menetapkan guideline ini, regulator harus meng-inisiasi dan melibatkan semua pihak yang berkepentingan untuk saling mendukung dan bersama-sama menjaga komitmen dalam implementasi nantinya.

3. Secara simultan mengantisipasi risiko yang akan terjadi dengan menerapkan mitigasi sejak awal, transparansi dan komunikasi yang up to date kepada seluruh pihak-pihak berkepentingan dan masyarakat luas (khususnya Pemegang Polis) agar menjadi suatu pola informasi yang membangun image positif dan zero complain (perlawanan).

Seluruh rangkaian pembahasan di atas, harus menjadi “NIAT” semua pihak sebagai bentuk upaya terbaik untuk segera menyudahi polemik yang ada demi terciptanya kondisi keberlanjutan perusahaan “AJB Bumiputera 1912” yang notabene merupakan aset warisan bangsa, sekaligus sebagai upaya terbaik untuk menjaga dunia perasuransian di Indonesia. #sy

Suryanto, Mahasiswa Magister STIE Dharma Bumiputera.

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *