Tahun lalu atau tepatnya pada Agustus 2021, isu rangkap jabatan menjadi buah bibir padahal Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia (UI) yang menjadi sorotan telah melepas rangkap jabatan sebagai Wakil Komisaris Utama PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI). Statuta UI melarang Rektor UI menjadi pejabat di badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Apakah isu ini sudah basi (obselete)? Tidak, isu rangkap jabatan akan terus menggelinding. Bagaimana alternatif solusinya?
Oleh Paul Sutaryono
Pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang efektif 18 Juli 2009 telah menitahkan pelaksana pelayanan publik dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, BUMN dan BUMD.
Siapa itu pelaksana pelayanan publik (pelaksana)? Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.
Apakah ada banyak pelaksana yang merangkap jabatan? Kajian Ombudsman mencatat hingga 2019 ada 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN. Rinciannya, 31 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan akademisi, 112 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan pegawai non kementerian serta 254 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan kementerian (Kompas, 24 Juli 2021). Wah!
Aneka Faktor
Lantas, apa saja faktor yang perlu dipertimbangankan dalam memilih komisaris? Pertama, Kementerian BUMN dan atau kementerian lain harus mempertimbangkan dengan matang sebelum memilih komisaris. Dengan bahasa lebih bening, mereka wajib meneliti aturan perundang-undangan seperti UU, Peraturan Pemerintah (PP) dan Statuta Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hal itu bertujuan untuk mencegah pelanggaran hukum sebab hukum adalah panglima.
Mengapa rangkap jabatan sering terjadi? Karena pelaksana itu memiliki kompetensi tinggi. Katakanlah, seorang rektor PTN sudah pasti memiliki kompetensi tinggi. Karena itu, Kementerian BUMN menunjuk pejabat PTN itu menjadi komisaris. Kelihatannya tak ada masalah. Tetapi ternyata ada aturan yang melarangnya.
Sejatinya, cukup banyak pejabat PTN bukan hanya rektor tetapi juga pejabat lain di PTN menjadi komisaris di BUMN/BUMD. Contoh, selama ini di bank BUMN hampir selalu ada komisaris dari PTN atau kementerian yang berarti pelaksana.
Kedua, apakah seseorang yang merangkap jabatan dapat bekerja dengan maksimal? Sulit dijawab. Namun kemungkinan besar, perangkap jabatan tidak akan dapat bekerja dengan maksimal. Mengapa? Lantaran satu jabatan tinggi saja setara rektor, wakil rektor, sekretaris universitas banyak membutuhkan tenaga, waktu dan pikiran untuk mampu bekerja secara profesional. Apalagi merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN/BUMD.
Ketiga, mungkin ada yang menangkis bahwa posisi komisaris tidak mengharuskan untuk hadir tiap hari di BUMN/BUMD. Tetapi, apakah komisaris demikian mampu bekerja dengan profesional? Sebab komisaris juga berfungsi sebagai pengawas bagi direksi.
Keempat, apakah kemudian pejabat PTN lainnya yang merangkap jabatan komisaris di BUMN/BUMD juga harus mengundurkan diri?
Tengoklah PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI yang hanya melarang pejabat UI menjadi direksi bukan komisaris. Amati Pasal 39 ayat c. pada PP tersebut yang menetapkan bahwa “Rektor dan wakil rektor, sekretaris universitas dan kepala badan dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta”. Hal yang dilarang adalah menjadi direksi bukan komisaris. Dengan bahasa lebih lugas, pasal itu dapat dimaknai bahwa pejabat UI dapat merangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN/BUMD.
Tetapi jangan lupa bahwa derajat Statuta UI dan PP Nomor 75 Tahun 2021 itu secara hukum masih di bawah UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Tegasnya, semua pelaksana seperti pejabat PTN yang merangkap jabatan di BUMN/BUMD itu tidak sesuai dengan UU tersebut.
Kelima, apakah UU itu juga berlaku bagi pejabat PTN lainnya? Pastinya, UU itu juga berlaku bagi semua pelaksana termasuk pejabat PTN yang merangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN/BUMD.
Ingat bahwa UU itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik.
Keenam, oleh karena itu, terdapat dua jalan opsi untuk dilaksanakan. Satu, Kementerian BUMN dan atau kementerian lainnya segera mencabut Surat Keputusan (SK) tentang penunjukkan pelaksana menjadi komisaris di BUMN/BUMD. Dua, atau pelaksana itu segera mengundurkan diri sebagai komisaris di BUMN/BUMD.
Aneka Alternatif Solusi
Kemudian, apa saja alternatif solusinya? Pertama, sudah barang tentu pelaksana yang memiliki kompetensi tinggi tetap perlu “dimanfaatkan”. Inilah tantangan serius bagi pemerintah (Kementerian BUMN) untuk segera mencari jalan keluar.
Sepatutnya, jalan keluar itu tidak melanggar aturan perundang-undangan. Katakanlah, UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Pasal 25 pada UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu menitahkan bahwa anggota direksi BUMN dilarang memangku jabatan rangkap sebagai anggota BUMN, BUMD, badan usaha milik swasta dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Selain itu, anggota direksi BUMN dilarang memangku jabatan rangkap sebagai jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah dan atau jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, terkait dengan itu, Ombusdman mengajukan usul supaya pejabat pemerintahan yang merangkap jabatan komisaris memperoleh gaji tunggal.
Gagasan itu baik. Tetapi selain gaji, komisaris juga menerima tantiem (penghasilan sebagai penghargaan) tiap tahun bila perusahaan meraih laba. Tantiem itu bisa lebih besar daripada gaji komisaris. Nah, itulah yang sangat menarik!
Ketiga, lalu bagaimana kriteria komisaris yang ideal? Komisaris wajib memiliki tak hanya kompetensi tinggi dalam bidangnya, namun juga integritas tinggi, profesional dan kepemimpinan kuat (strong leadership).
Inilah kesempatan emas bagi Kementerian BUMN untuk melirik pejabat Perguruan Tinggi Swasta (PTS) untuk menjadi komisaris di BUMN/BUMD. Harus diakui bahwa banyak pejabat PTS juga mempunyai kompetensi tinggi sebagaimana halnya pejabat di PTN.
Selama ini, masih ada anggapan bahwa sekolah swasta dan PTS itu pesaing berat bagi sekolah negeri dan PTN. Padahal, sekolah swasta dan PTS tersebut merupakan mitra kerja pemerintah dalam hal ini (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi/Kemendikbudristek) dalam mencerdaskan bangsa. Dengan demikian, pemerintah wajib membantu dalam mengembangkan sekolah swasta dan PTS supaya semakin berkualitas setingkat dengan sekolah negeri dan PTN.
Pada sekitar 1980-an, Bank Indonesia (BI) memiliki kebijakan untuk membantu dalam mengembangkan PTS. Bagaimana caranya? BI memberi kesempatan kepada pegawai mereka untuk mengajar di PTS. Selama in, BI mempunyai banyak pegawai lulusan luar negeri dan mengirim pegawai untuk belajar di luar negeri untuk meningkatkan kompetensi pegawai bank sentral. Ringkas tutur, pegawai BI memiliki kompetensi tinggi.
Sejatinya, langkah seperti itu juga diikuti oleh bank-bank BUMN. Bank pemerintah itu bukan hanya mengirim pegawai mereka ke luar negeri tetapi juga ke PTN dalam negeri papan atas seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Universitas Indonesia (UI), Jakarta dan Depok, Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
Bank pemerintah itu adalah PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk atau Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk atau BTN. Dengan memiliki pegawai dengan kompetensi tinggi, bank pelat merah itu amat diharapkan akan mampu menghadapi era normal baru (new normal).
Era normal baru itu diwarnai dengan disrupsi teknologi (disruptive technology) dan pandemi Covid-19. Diakui bahwa pandemi tersebut justru makin mendorong bank umum untuk tidak hanya melakukan adaptasi (adaptif), namun juga inovatif dan transformatif total.
Lebih dari itu, sepengetahuan saya, terdapat PTS yakni Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta pernah memanfaatkan kebijakan bank sentral tersebut dengan menarik sekitar 5 orang pegawai BI untuk menjadi dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) PTS tersebut. Para pegawai BI itu tidak meninggalkan tugas sebagai pelaksana mengingat ketika itu kuliah di FEB hanya berlangsung pada sore hari.
Bahkan pegawai BI tersebut dapat mengajar di PTS selama sekitar 5 tahun, waktu yang tidak sebentar dalam ikut mengembangkan PTS. Oleh karena itu, hendaknya kebijakan itu patut dilanjutkan untuk meningkatkan kualitas PTS.
Keempat, kini saatnya bagi pemerintah untuk lebih memberdayakan PTS baik perangkat lunak (software) seperti sumber daya manusia (SDM) maupun perangkat keras (hardware) atau infrastruktur seperti gedung, fasilitas kuliah lainnya dan administrasi. Alhasil, semakin banyak PTS yang semakin berkualitas.
Itu semua bertujuan final untuk mencetak SDM yang cerdas, unggul dan profesional dalam bidangnya. Hanya bangsa yang mempunyai SDM demikian akan mampu menaklukkan dan menguasai dunia!
* Penulis adalah Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI