Jakarta – Kinerja Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama delapan tahun menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan perlindungan konsumen, dinilai masih belum baik. Lemahnya kompetensi tenaga pengawas dan pemeriksa terkait penguasaan aspek bisnis dan lingkungan bisnis industri dinilai berpengaruh terhadap konsistensi, obyektivitas, serta kemampuan risk balancing dan inovasi mereka dalam menjalankan tugas.
Hal tersebut terungkap dari hasil survei bertajuk “Studi Penguatan Industri Keuangan: Perspektif Industri Terhadap Regulator” yang dilakukan oleh Lembaga Survei Citiasia bekerjasama dengan Biro Riset Infobank. Survei yang dilakukan pada rentang 28 November – 11 Desember 2019 itu menggunakan metode purposive sampling dengan 182 responden level manajer ke atas dari 114 industri perbankan, lembaga pembiayaan (multifinance), asuransi, dan lembaga jasa keuangan khusus.
Ada lima fungsi utama OJK yang disurvei, yakni (1) fungsi pengaturan dan pengawasan kelembagaan, (2) fungsi pengaturan dan pengawasan kesehatan, (3) fungsi pengaturan dan pengawasan kehati-hatian, (4) fungsi pemeriksaan, dan (5) fungsi perlindungan konsumen. Hasilnya, indeks persepsi kinerja pengaturan dan pengawasan kelembagaan secara keseluruhan sebesar 63.2%, pengaturan dan pengawasan kesehatan 59.3%, pengaturan dan pengawasan kehati-hatian 66.5%, pemeriksaan 59.9%, dan perlindungan konsumen 58.8%.
“Jika dihitung secara keseluruhan, indeks kinerja OJK sebesar 59.3%,” ujar Achmad Yunianto, Direktur Riset Citiasia, kepada wartawan, dalam pemaparan hasil survei di Jakarta, Selasa, 28 Januari 2020.
Dengan indeks 59,3%, berdasarkan rate nilai yang digunakan dalam survei ini, terbilang buruk. Ratenya, indeks 0% – 50% nilainya E atau “Sangat Buruk”; 50% – 60% nilainya D atau “Buruk”; 60% – 75% nilainya C atau “Cukup Baik”; 75% – 90% nilainya B atau “Baik”; dan 90% – 100% nilai A atau “Sangat Baik”.
Jika ditelisik lebih dalam, industri multifinance menjadi industri paling rendah dalam memberikan indeks penilaian atas kinerja OJK, yakni sebesar 51,9%. Disusul perbankan 55,3%, lembaga jasa keuangan khusus 63,3%, dan asuransi 65,2%.
Temuan studi ini menunjukkan, di antara kelima tugas OJK, bagi industri pengaturan dan pengawasan kesehatan, serta pemeriksaan menjadi prioritas perbaikan, kemudian diikuti perlindungan konsumen. Masih lemahnya penguasaan aspek dan lingkungan bisnis industri berkontribusi terhadap lemahnya kompetensi dan konsistensi pengawas, serta kemampuan pengawas dalam menciptakan keseimbangan antara pengelolaan resiko dan pengembangan industri.
“Hal ini juga ditengarai mengakibatkan relatif lemahnya mekanisme sistem dalam mendeteksi potensi penyimpangan yang dapat merugikan konsumen,” ujar Achmad Yunianto.
Sementara edukasi dan sosialisasi sebagai upaya preventif yang dipandang masih kurang intensif, turut meningkatkan risiko bagi konsumen. Di sisi lain, absennya road map pengembangan industri menyebabkan upaya pengembangan industri masih dirasakan belum terstruktur, cenderung reaktif, dan belum mendapatkan porsi yang memadai.
Perbaikan dan pengembangan industri yang dibarengi dengan pengelolaan risiko yang berimbang sebaiknya dilakukan dengan membentuk Dewan Pengawas OJK yang mampu menampung, menyuarakan, dan mensinergikan kepentingan para pemangku kepentingan industri. Sehingga, desain road map, proses transformasi, dan monitoring industri keuangan nasional dapat dilakukan secara lebih cepat dan efektif.