Jakarta – Harga kebutuhan pokok yang melonjak tajam dikhawatirkan bakal meningkatkan inflasi. Apalagi, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) juga listrik di bulan Ramadhan ini. Kondisi ini tentu terasa berat bagi masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah puasanya dengan hikmat, namun dibayangi harga-harga kebutuhan pokok yang begitu tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, menjelang ramadhan Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Maret 2022 mengalami inflasi sebesar 0,66% secara bulanan (month-to-month/mtm). Menurut BPS, inflasi Maret 2022 merupakan tertinggi sejak Mei 2019. Sedangkan secara tahunan, inflasi pada Maret 2022 mencapai 2,64% (year-on-year/yoy) dan secara tahun berjalan mencapai 1,20% (year-to-date/ytd).
Adapun tiga penyumbang terbesar inflasi Maret 2022 berdasarkan kelompok pengeluaran, yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga, serta perawatan pribadi dan jasa lainnya. Kelompok makanan, minuman dan tembakau mengalami inflasi sebesar 1,47% (mtm) dan memberikan andil terhadap inflasi sebesar 0,38%.
Kepala BPS, Margo Yuwono menyampaikan pada April ini inflasi diperkirakan bakal meningkat karena dipicu oleh beberapa hal yang berpotensi akan menggerakkan tingkat inflasi. “Ada demand yang polanya meningkat di bulan Puasa atau Lebaran sedangkan di sisi lain ada kebijakan pemerintah yang berpotensi untuk terjadinya inflasi. April ini dugaan saya tinggi (inflasi), karena ada banyak tekanan dari faktor eksternal,” jelas Margo dalam diskusi Infobank bertema ‘Harga Kian Mahal, Recovery Terganggu?’ secara virtual, 7 April 2022.
Dirinya mengungkapkan, momentum bulan Puasa dan menjelang Idul Fitri turut mendorong permintaan beberapa bahan pokok. BPS sendiri mencatat terdapat peningkatan harga pada cabai merah, minyak goreng, dan telur ayam ras di Maret. Kemudian, bahan bakar rumah tangga dan emas perhiasan juga menjadi beberapa komoditas yang menyumbang inflasi.
Ditambah lagi dari sisi kebijakan, pemerintah sendiri telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang berpotensi meningkatkan inflasi sejak Januari lalu. Kebijakan tersebut antara lain adalah penyesuaian harga LPG pada 27 Februari 2022. penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax per 1 April 2022, dan penyesuaian PPN menjadi 11% di 1 April 2022. Hal demikian turut mendorong tingkat inflasi di bulan April ini. Bahkan tak menutup kemungkinan inflasi hingga akhir tahun juga ikut terdampak.
Margo pun mengatakan, potensi peningkatan inflasi yang tinggi harus segera diantisipasi. Menurutnya ada beberapa dampak dan bahaya yang bisa timbul dari peningkatan inflasi yang tidak terkendali. Pertama adalah dampak pada penurunan daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga saat ini memiliki share terbesar dari total PDB Indonesia. Hal ini tentu dikhawatirkan akan menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tengah masuk masa pemulihan.
Kedua, inflasi yang tinggi di bahan pangan akan membebani masyarakat menengah bawah. Ketiga, inflasi yang tidak terkendali dalam jangka panjang akan menambah angka kemiskinan yang ada. Apalagi sebuah lembaga yakni Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksikan tingkat kemiskinan Indonesia pada 2022 berpotensi melonjak menjadi 10,81% atau setara 29,3 juta penduduk.
Keempat, inflasi yang tinggi terjadi akan menganggu kinerja mitra dagang yang akhirnya mengurangi output perekonomian. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya beban biaya produksi. Kelima dan terakhir adalah berkurangnya output perekonomian akan berdampak pada pengurangan tenaga kerja yang akan menambah tingkat pengangguran.
Untuk itu, kelima dampak ini harus bida dihindari sebisa mungkin dengan menjaga angka inflasi tetap stabil. “Tentu saja kita tidak ingin inflasi ini berlanjut karena dampaknya bisa meluas kemana-mana,” ucap Margo.
Senada dengan Margo, Ekonom senior Faisal Basri pun menyampaikan, tingkat inflasi yang tinggi akibat lonjakan harga pangan akan membuat angka kemiskinan cenderung meningkat. Bahkan, kata dia, jumlah orang miskin diproyeksikan akan kembali double digit dari posisi saat ini, single digit. “Akan ada legacy (warisan) yang hilang kalau inflasi tinggi jumlah orang miskin akan double digit lagi. Padahal, Pak Jokowi ingin hilangkan angka kemiskinan,” tegas Faisal.
Ia menilai, tingkat kemiskinan sangat mungkin untuk meningkat ketika inflasi tinggi karena porsi pengeluaran 20% masyarakat dengan pengeluaran terendah hanya untuk membeli bahan makanan. Berdasarkan datanya, sebanyak 64% pengeluaran masyarakat miskin habis hanya untuk beli makanan. Angka ini berbeda dengan 20% masyarakat kaya yang porsi pengeluaran untuk belanja bahan pangan hanya 39,22%. Sejalan dengan itu, harga beberapa komoditas pangan pun tengah naik, seperti minyak goreng yang baik sangat tinggi.
“Itu semua pengaruhnya ke rakyat miskin akan besar dan memunculkan tensi sosial atau gejolak sosial,” papar Faisal.
Di diskusi yang sama, Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Muhammad Edhie Purnawan menghimbau pemerintah Indonesia untuk bisa mewaspadai hal tersebut. Dirinya menyarankan agar koordinasi antara regulator seperti Bank Indonesia dan Pemerintah perlu ditingkatkan untuk menjaga laju inflasi hingga akhir 2022. Apalagi, ada kekhawatiran kenaikan harga-harga yang terjadi belakangan ini seperti BBM hingga minyak goreng bisa memicu inflasi 2022 lebih tinggi dari perkiraan Pemerintah yang dipatok sebesar 3,0%.
“Inflasi is everyday is everywhere. Persoalan harga-harga yang meningkat, persoalan macam-macam termasuk seperti persoalan pandemi. Inflasi itu sama seperti perampok, mematikan. Jadi kita sebagai bangsa Indonesia harus mempersiapkan untuk mengantisipasi hal-hal ini,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Edhie, dari sisi eksternal, perang Rusia-Ukraina telah membuat banyak pihak cemas akan kondisi perekonomian global. Invasi Rusia ke Ukraina juga semakin membuat rumit kondisi inflasi dan kenaikan harga komoditas secara global. Tercatat, Inflasi Eropa naik mencapai 7,5% per Maret 2022, atau lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tercatat di angka 5,9%.
Inflasi global yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina ini harus bisa diantisipasi oleh setiap negara. Pasalnya, inflasi global yang terjadi saat ini diprediksi masih panjang selama perang kedua negara tersebut masih berlangsung. “Inflasi ini adalah situasi ekonomi yang saya kira akan lama selesainya baik ditingkat global maupun di Indonesia juga. Saya kira semuanya tahu penyebab inflasi pertama demand dan supply, kali ini ditambah dengan perang Rusia-Ukraina,” jelasnya.
Dalam diskusi yang sama, Anggota Komisi XI DPR-RI M. Misbakhun pun meminta ketegasan pemerintah dalam memberantas mafia minyak goreng. Ia mengungkapkan negara punya kekuasaan dan wewenang untuk melarang oknum tersebut beroperasi. Hal ini sejalan harga minyak goreng yang begitu tinggi, sehingga dapat memicu tingkat inflasi. “Kalau negara tidak tegas dalam hal ini, saya yakin akan lama (penyelesaian),” ujar dia.
Selain harga minyak goreng, Misbakhun juga menyoroti kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan ini. Ia menilai kenaikan BBM sangat menggangu karena pengaruh ke inflasinya cukup banyak, seperti produksi, dan transportasi. “Kebijakan terkait BBM harus dikonsolidasikan ulang, supaya dapat dilihat dampak-dampak ekonominya secara makro. Menurut saya, karena hal ini, recovery secara makro pasti terganggu,” tambahnya.
Dirinya mengusulkan agar pemerintah melakukan konsolidasi ulang terkait kebijakan kenaikan harga BBM. Menurutnya, momen kenaikan BBM yang dibarengi dengan peningkatan kebutuhan menjelang puasa dan Idul Fitri bisa menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi.
Dari sisi regulator, Bank Indonesia (BI) pun turut berperan dalam menjaga tingkat inflasi, khusunya di daerah. Kepala BI Provinsi Papua, Juli Budi Winantya mengungkapkan bahwa pihaknya menerapkan kebijakan 4K untuk dapat menjaga tingkat inflasi daerah tetap sesuai target. “Dalam menjaga stabilisasi harga, kita menerapkan 4K. Pertama adalah keterjangkauan harga. Kita lakukan stabilisasi apabila memang diperlukan,” tukas Juli.
Agar harga komoditas tetap terjangkau, BI melakukan beberapa cara. Salah satunya adalah dengan melakukan survei pemantauan harga atau melakukan operasi pasar. Tidak jarang, BI juga menggunakan channel digital untuk memastikan harga yang ada tetap stabil.
Kemudian kebijakan kedua adalah ketersediaan pasokan. Dalam hal ini, regulator berkoordinasi dengan masyarakat untuk menanam komoditas utama penyumbang inflasi. Tidak jarang, implementasi digital dan konsep urban farming diterapkan dalam hal ini.
Selanjutnya, kebijakan ketiga adalah menjaga kelancaran distribusi. BI aktif melakukan kerja sama dengan BUMN untuk memastikan distribusi yang aman tetap terjaga. Selain itu, peran BULOG juga dioptimalkan dalam hal penyimpanan dan perdagangan.
Kebijakan terakhir adalah komunikasi efektif. Dalam poin ini, BI melakukan koordinasi dengan berbagai stakeholder terkait untuk mengendalikan inflasi. Media digital juga dimanfaatkan untuk mensosialisasikan harga pangan dan kampanye belanja dengan bijak. (*)