Aroma “Tak Sedap” di Balik Pusaran Korupsi BUMN

Jakarta – Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terus-terusan diterpa isu tak sedap. Kegaduhan dimulai dari langkah Kementerian BUMN yang menggonta-ganti jajaran direksi BUMN hingga memantik banyak kecurigaan dan memunculkan dugaan intrik, lantaran kebijakan ini dinilai sebagai langkah “bandel” melawan instruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Seperti diketahui, Jokowi telah melarang para menteri mengambil kebijakan strategis menjelang berakhirnya pemerintahan periode 2014-2019 pada Oktober 2019 mendatang. Tentu saja, apa yang dilakukan Menteri BUMN Rini Soemarno, dengan bongkar pasang direksi BUMN, sebagai tindakan berani.

Benarkah?

Menurut mantan Sekretaris BUMN Muhammad Said Didu, secara mekanisme tidak mungkin seorang menteri berani mengambil keputusan strategis tanpa persetujuan presiden. “Jangan terjebak,” cuit Said Didu melalui akun twitternya.

Hal senada disampaikan founder lembaga pemeringkat kedaiKOPI Hendri Satrio. Kepada asianpost.id, Hensat, demikian dia biasa disapa, bahkan dengan tegas mengatakan, backing Menteri Rini dalam mengambil tiap tindakannya tak lain adalah Jokowi sendiri.

“Saya sih sudah yakin sebelumnya mereka sudah bicara ke Jokowi. Karena kalau belum bicara, sudah pasti dipanggil,” katanya.

Belum reda kegaduhan ini, bau tak sedap dari perusahaan plat merah untuk kesekian kalinya kembali menyeruak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua direksi PTPN III sebagai tersangka kasus dugaan suap impor gula, yakni Dolly Pulungan (Dirut) dan I Kadek Kertha Laksana (Direktur Pemasaran). Bersama mereka, ikut ditetapkan pemilik PT Fajar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi. Dolly diduga mendapat fee atas jasa yang tak seharusnya diterima, sebesar USG345.000 dari Pieko.

Terjeratnya Dolly, yang disebut-sebut sebagai orang kesayangan Rini, menambah panjang daftar direksi yang tersangkut kasus korupsi. Setidaknya, Wakil Direktur Visi Integritas, Emerson Yuntho, pernah menyebutkan, ada 60 kasus korupsi yang ditangani KPK hingga Agustus 2019. Kerugian negara pada 2018, dari 19 kasus yang melibatkan BUMN, mencapai Rp3,1 triliun.

Menurut Hensat, tumpukan kasus korupsi yang membelit jajaran tingkat atas di BUMN membuktikan lemahnya pola fit and proper test yang dilakukan kementerian. Ada dugaan, pilihan direksi hanya berdasarkan hitungan politik, dengan mengabaikan integritas yang semestinya diutamakan. Sebab, dalam posisi jabatan tertinggi di BUMN, persoalan kapasitas dianggap sudah selesai.

Seperti dikatakan juga oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang, integritas merupakan syarat utama supaya orang terhindar melakukan korupsi. Dan untuk membangun integritas ada beberapa nilai, yakni jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, sederhana, berani dan adil.

Said Didu juga menilai hal yang sama. Yang jelas, mudahnya direksi terpeleset tindakan rusuah karena Kementerian BUMN memilih orang-orang yang tidak profesional, ditambah dengan beban campur tangan untuk kepentingan politik kepada BUMN.

Bagi peneliti Visi Integritas, Danang Widoyoko, proses seleksi direksi BUMN yang disebutnya terkesan cukup rahasia sehingga memantik spekulasi negatif publik, ikut menyumbang andil bagi praktik korupsi di kalangan BUMN.

Untuk tahun 2019 ini saja, ada lima direksi BUMN yang telah ditetapkan sebagai tersangka, satu diantaranya merupakan kasus lama.

Pertama, Mantan Direktur Teknologi dan Produksi PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Wisnu Kuncoro

KPK menetapkan Wisnu sebagai tersangka pada 23 Maret 2019. Ia tersandung kasus suap pengadaan barang di perusahaan plat merah yang dikepalainya. Wisnu diduga menerima suap dari pihak swasta dalam kasus ini. KPK menduga Wisnu menggunakan perantara bernama Alexander Muskitta untuk menerima suap.

Kedua, Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir

Sofyan Basir resmi ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan menerima janji pemberian fee terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1 pada 23 April 2019. KPK menduga Sofyan telah menerima uang dari Johanes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Sofyan juga diduga turut membantu Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan menerima hadiah atau janji dari Johanes Kotjo.

Ketiga, Mantan Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II (Persero) Andra Y Agussalam

KPK menetapkan Andra Y Agussalam sebagai tersangka kasus suap terkait pengadaan pekerjaan Baggage Handling System (BHS) pada PT Angkasa Pura Propertindo pada 1 Agustus 2019. Uang suap yang diterima Andra diduga bertujuan untuk mengawal proyek pengadaan BHS dilakukan oleh PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). Uang suap senilai SDG96.700, diduga diberikan oleh pegawai PT INTI Persero. Andra terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (31/7).

Keempat, mantan Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan dan Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana

KPK menetapkan Dolly dan Laksana sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait distribusi gula. Dolly diduga menerima suap SGD 345 ribu dari pihak swasta. Dalam kasus suap distribusi gula ini, tiga orang yang jadi tersangka itu yakni pemilik PT Fakar Mulia Transindo Pieko Nyotosetiadi (PNO) sebagai pemberi. Sedangkan sebagai penerima, yakni Dolly dan Laksana.

Selain itu, KPK juga menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (2005-2014) Emirsyah Satar sebagai tersangka bersama Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd Soetikno Soedarjo.

Kasus TPPU tersebut merupakan pengembangan dari kasus suap terkait pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.S dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia. Selain itu, KPK juga menetapkan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk 2007-2012 Hadinoto Soedigno (HDS) sebagai tersangka baru kasus suap tersebut.

Banyaknya kasus korupsi yang menyeret BUMN tentu saja memprihatinkan, mengingat BUMN sejatinya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada rakyat, tanpa perlu bergantung pada perusahaan asing. Tapi, tindakan sejumlah direksi BUMN justru menggandoli negara dan telah membahayakan kepentingan rakyat.

Seorang filsuf akhir abad 18, Amos Bronson Alcott pernah menyatakan, “Sebuah pemerintahan yang hanya melindungi kepentingan bisnis saja, tak lebih dari sekadar cangkang, dan segera runtuh sendiri oleh korupsi dan pembusukan.”

Sebuah kutipan yang tentunya perlu diresapi bersama. [dari berbagai sumber] – Ahmadi

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *