Ketika Joko Widodo (Jokowi), Presiden RI 2019-2024 terpilih, mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju, Infobank sudah meragukan hasil kerjanya, meski komposisinya 17 politisi dan 17 profesional. Keraguan Infobank itu karena tidak banyak yang ekonom, tapi bertabur kabinet “bau kencur” miskin pengalaman dan ilmu ekonomi.
Padahal, isu perang dagang dan menurunnya ekonomi global sudah hangat (ketika kabinet tersebut diumumkan Oktober 2019). Jauh, sebelum efek pandemi COVID-19, masalah ekonomi akibat perang dagang sudah bikin “bolong” neraca perdagangan, yang mengalami defisit. Plus sekarang ada COVID-19, yang efeknya membuat ekonomi menyusut dan banyak pengangguran serta meningkatnya kemiskinan.
Namun, karena ini hak prerogatif presiden, kita beri kesempatan kepada para menteri pilihan Jokowi untuk bekerja terlebih dulu dalam kurun waktu setahun, sejak diangkat (Oktober 2020). Optimisime tetap kita berikan kepada anak-anak muda yang ditunjuk Jokowi menjadi menteri. Siapa tahu, dengan zaman industri 4.0, cara-cara lama sudah usang. Kabinet Indonesia Maju dinilai memberi harapan.
Namun, sejak COVID-19 merebak (Maret 2020), dan dampaknya terhadap ekonomi menimbulkan kerusakan yang luar biasa, Presiden jadi sering tampil sendiri tanpa didampingi menterinya. Awalnya, kita menduga itu karena protokol kesehatan, dan yang ada visi presiden, bukan visi menteri. Jadi, publik masih menilai itu normal saja.
Hingga akhirnya, Presiden Jokowi baru-baru ini marah kepada para menterinya dan pimpinan lembaga negara lantaran dianggap tidak maksimal bekerja di tengah pandemi COVID-19. Suara Jokowi beberapa kali meninggi dan menyebut bakal mengambil langkah yang luar biasa keras (extraordinary).
Jokowi marah dan mukanya tampak tegang saat Sidang Paripurna Terbatas di Istana Negara pada 18 Juni lalu. Video rekaman saat Jokowi marah diunggah akun YouTube Sekretariat Presiden pada Minggu (28/6).
Jokowi sudah menunjukkan kegusarannya begitu baru mulai bicara. Presiden mengatakan bahwa tiga bulan ke belakang hingga saat ini adalah masa krisis akibat wabah Corona. Namun, herannya, dia melihat masih ada anggota kabinet yang bekerja biasa-biasa saja.
“Jangan biasa-biasa saja. Jangan linear. Jangan menganggap ini normal. Bahaya sekali,” kata Jokowi dengan nada tinggi.
“Saya melihat masih banyak (di antara) kita yang menganggap ini normal. Saya lihat masih banyak kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ. Ini apa enggak punya perasaan,” tambahnya.
Pendek kata, sepertinya Jokowi melihat masih ada anggota kabinet yang tidak khawatir dengan kondisi saat ini sehingga bekerja biasa-biasa saja. Tidak ada tindakan luar biasa dari mereka untuk mengantisipasi krisis. Jokowi menegaskan bahwa untuk kondisi saat ini diperlukan tindakan luar biasa atau extraordinary. Jangan sampai terhambat hanya karena peraturan. Jokowi seolah tidak mau mendengar alasan semacam itu.
Wajar saja Jokowi “marah” kepada para pembantunya. Beberapa waktu lalu, berdasarkan penuturan pihak Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), Presiden Jokowi mengingatkan bahwa perekonomian dunia terkontraksi atau minus 6% hingga 7,6%. Tidak terkecuali pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan juga minus 4,9%-5%.
Sinyal Reshuffle dan Kabinet Miskin Ekonom
Apakah Presiden Jokowi hanya berhenti pada “marah-marah” saja? Atau, akan melanjutkan dengan merombak Kabinet Indonesia Kerja (maksudnya Kabinet Indonesia Maju) – yang selama enam bulan ini tidak banyak kerjaannya? Pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan minus 4,9%-5%, tapi ironisnya kabinetnya malah miskin ekonom, atau sedikit yang paham ekonomi atau berlatar belakang ekonomi. Hanya Sri Mulyani Indrawati yang tulen ekonom dan Bambang Brodjonegoro, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset Inovasi Nasional.
Rombongan Menteri Kabinet Indonesia Maju ini miskin ekonom di tengah masalah berat yang belum pernah ada, yaitu masalah kesehatan dan masalah ekonomi. Krisis ini lebih berat. Hampir seluruh negara mengalaminya. Perdagangan global merosot dan ekonomi di banyak negara minus. Dan, sudah pasti pemerintah setiap negara berpikir bagaimana mengatasi keadaan berat ini, berusaha mestabilkan ekonomi negaranya masing-masing.
Tidak hanya menteri teknis, menteri koordinator pun demikian. Termasuk lingkungkan terdekat Presiden. Bahkan, dari Wakil Presiden, meski guru besar ekonomi syariah, belum terlihat adanya kebijakan-kebijakan atau arahan-arahan bagaimana mengantisipasi pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Pendek kata, di jabatan-jabatan politis tidak banyak yang “paham” ekonomi. Atau, kering ekonom. Menurut catatan Infobank Institute, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian bukan ekonom, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas bukan ekonom, juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Menteri Pedagangan dan Menteri Pertanian pun demikian. Dia bukan ekonom. Daftar menteri Jokowi yang bukan ekonom pun makin panjang. Selain menteri-menteri yang telah disebutkan, Menteri ESDM, Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja, dan Menteri Koperasi dan UKM juga bukan ekonom. Termasuk Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Masih ada lagi? Masih. Menteri Perhubungan, juga bukan ekonom dan menteri.
Kabinet Paceklik Ekonom – begitu kalau boleh menyebut. Bahkan, di lingkungan Presiden sendiri kering ekonom, seperti Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Termasuk lingkungan dekat Presiden, yaitu Menteri Sekretaris Kabinet dan Menteri Sekretaris Negara, yang bukan ekonom. Kepala Staf Kepresidenan juga setali tiga uang.
Tidak bermaksud membedakan dengan periode sebelumnya, ketika krisis 1998, pada pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ada nama Rizal Ramli, Burhanuddin Abdullah, Bambang Sudibyo, dan Kwik Kian Gie. Lalu, pada pemerintahan Megawati ada Dorotjatun Kuntjorojakti, Boediono, ada juga Kwik Kian Gie. Era Susilo Bambang Yudhoyono pada periode II ada Boediono sebagai Wakil Presiden, ada Sri Mulyani Indrawati, M. Chatib Basri, Bambang Brodjonegoro, Armida Alisjahbana, dan Mari E. Pangestu.
Bisik-bisik waktu itu – karena ada krisis 2008, maka bentengnya perlu orang yang “paham” ekonomi secara baik. Dan, ternyata pada 2009-2011, efek krisis di Amerika Serikat (AS) akibat subprime mortgage tidak melumatkan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun tetap baik, di atas 5%.
Kini, agar energi Presiden tidak habis dan tidak sekadar marah-marah, harus segera ada tindakan nyata dan luar biasa dari para menterinya serta semua jajaran terkait. Bahkan, untuk belanja departemen pun kering dan ada menteri-menterinya tidak melaksanakan program. Yang dilakukan Presiden sudah benar – ingin mengajak semua jajaran untuk sense of crisis.
Ada baiknya untuk memikirkan lingkungan Presiden, bagaimana mereka memahami masalah ekonomi dengan baik. Tidak harus semua ekonom. Namun, setidaknya masalah COVID-19 akan menyusutkan ekonomi. Banyak pabrik tutup, kredit macet, dan tentu akan banjir PHK dan kemiskinan pun akan beranak-pinak di negeri yang berpenduduk 267 juta jiwa ini.
Proyeksi pertumbuhan ekonomi akan negatif (4%-5%). Namun, siapa tahu, selain Presiden perlu penasihat para begawan ekonomi, akan lebih baik bila Presiden mengocok ulang Kabinet Indonesia Maju alias reshuffle. Para menteri yang banyak di-endorse oleh partai politik ini, maaf saja, dia tidak punya jam terbang, dia tidak paham ekonomi dan lebih parahnya lagi, tidak punya sense of crisis!
Jujur, banyak menteri Jokowi yang KW1 dan bahkan ada yang KW2. Jadi, setelah Presiden marah-marah, reshuffle sepertinya langkah yang urgen. Mr. President, reshuffle, please!
Oleh Eko B. Supriyanto, Pemimpin Redaksi Infobank