Jakarta – Bank Indonesia (BI) telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya. Kini, BI 7 days reverse repo rate (BI7DRRR) berada di level 6%. Suku bunga Deposit Facility juga dinaikkan ke level 5,25%, serta suku bunga Lending Facility ke level 6,75%.
Kenaikan BI rate sebesar 25 basis points (bps) tersebut adalah kenaikan pertama yang ditetapkan dewan gubernur BI sejak terakhir kali kenaikan pada 19 Januari 2023 ke level 5,75% dari level 5,50% pada 22 Desember 2022.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga acuan kali ini ditujukan untuk memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak ketidakpastian global yang semakin meningkat, langkah pre-emptive dan forward looking untuk mencegah inflasi barang impor atau imported inflation.
“Sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus 1% pada 2023 dan 2,5% plus minus 1% pada 2024,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis, 19 Oktober 2023.
Sementara itu, menurut ekonom senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), Ryan Kiryanto, kenaikan BI rate hingga 25 bps itu adalah langkah yang tepat. Ia bahkan sudah memprediksi kenaikan tersebut sebelumnya.
“Hampir pasti Fed akan naikkan satu kali lagi Fed Fund Rate (FFR) sebesar 25 bps menjadi 5,5-5,75% untuk mempercepat capaian target inflasi 2% di AS. Jika BI rate tidak naik, maka posisinya setara dengan ekspektasi FFR yang 5,50-5,75% pada November atau Desember nanti,” ujar Ryan kepada Asianpost, Kamis, 19 Oktober 2023.
Menurut Ryan, situasi global yang makin tak menentu saat ini menjadi landasan urgensi kenaikan suku bunga acuan. Tekanan eksternal yang kuat dan masif dari eskalasi perang di Ukraina ditambah perang Hamas dengan Israel, menyebabkan kepanikan pasar global yang mendorong pemilik modal membeli dolar AS secara masif.
Dengan kondisi demikian, rupiah berpotensi makin tertekan akibat gejolak geopolitik yang meningkat, ditambah stance kebijakan bank-bank sentral di negara maju masih hawkish (menahan suku bunga tinggi karena inflasi belum mencapai target). Surplus neraca dagang juga bergerak naik turun alias fluktuatif, sehingga menekan posisi rupiah.
Ia juga menerangkan bahwa rupiah berpotensi melemah akibat posisi cadangan devisa yang terpantau menurun untuk memenuhi kebutuhan impor dan kewajiban utang luar negeri pemerintah. Selain itu, tekanan dari sisi non ekonomi lainnya, yakni suhu politik nasional yang mulai menghangat jelang pesta demokrasi, dikatakannya turut mengganggu kenyamanan pelaku pasar terhadap prospek rupiah ke depannya.
“Sepanjang pekan ini dan mungkin juga sebulan ke depan atau hingga akhir tahun tidak ada atau belum ada berita baik atau berita positif dari dalam negeri, sekalipun outlook ekonomi Indonesia tahun ini dan tahun depan diprediksi cukup stabil. Maka, menaikkan BI rate sebesar 25 bps dari 5,75% ke 6% adalah pilihan kebijakan moneter yang tepat, terukur, preemptive, dan antisipatif. Setidaknya untuk bisa menahan depresiasi rupiah lebih jauh,” pungkasnya.
Penulis: Steven Widjaja