Ekonom Ini Dorong Presiden RI Berikutnya Hentikan Investasi Jenis Ini

Presiden dan Wakil Presiden RI yang baru Prabowo-Gibran. (Foto: Istimewa)

Jakarta – Ekonom dan Direktur Eksekutif Institut for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mendorong presiden Indonesia yang baru nanti untuk tidak lagi melanjutkan investasi di sejumlah bidang. Tauhid katakan jika investasi tersebut tidak menyentuh persoalan sebenarnya di lapangan.

“Kita ini penciptaan lapangan kerja makin kecil, makin sempit. Karena meskipun investasi kita bangga gitu ya Rp1.400 triliun, tapi kan penyerapan tenaga kerjanya makin sedikit karena investasinya ke arah kapital dan penggunaan teknologi sekarang lebih efisien. Makanya, perlu ada perubahan orientasi investasi masuk bukan mengejar target Rp1.600 triliun di 2024, namun berapa banyak tenaga kerja tercipta,” ujarnya pada sebuah acara diskusi di Jakarta, belum lama ini.

Ia jelaskan jika selama ini investasi yang masuk ke Indonesia hanya memberikan keuntungan yang besar kepada investor, dan tidak membuka lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat. Menurutnya, hal itu adalah salah satu hal penting bila pemerintah ingin mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen.

Maka dari itu, ia mengungkapkan, ada beberapa proyek prioritas nasional dengan multiplier keuangan dan ekonomi yang rendah, perlu untuk dihentikan kelangsungannya. Banyak infrastruktur dibangun, tapi sektor ekonominya tidak terdampak. Ia mencontohkan proyek kereta cepat yang nilai investasinya tinggi, tapi tingkat okupansinya rendah. 

“Itu kan menggerus uang yang sebenarnya bisa dipakai untuk membangun infrastruktur lainnya secara masif. Misalnya seperti di Jakarta yang kurang infrastruktur transportasi umum. Kalau anda pernah ke Malaysia, Singapura, sepertinya lebih enak naik transportasi umum. Kita tuh tidak berani berinvestasi di situ,” sebutnya.

Menurutnya, Jakarta yang infrastruktur publik utamanya adalah jalan malah mendorong masyarakat untuk membeli kendaraan, dan tidak mendorong masyarakat untuk menggunakan transportasi atau angkutan umum. Ia lalu kembali membandingkannya dengan kota-kota besar dari negara lain yang sudah memiliki sub-train atau kereta bawah tanah yang terkoneksi ke berbagai tempat.

“Karena biaya terbesar pada wilayah-wilayah besar perkotaan, setelah konsumsi makanan, itu adalah transportasi. Anda pasti merasakan kayak naik Gojek atau sejenisnya itu kan mahal. Padahal, kita ingin MRT lebih banyak, dan seharusnya itu yang dilanjutkan ketimbang kereta cepat yang sebetulnya hanya menggeser market dari kereta reguler ke kereta cepat. Marketnya itu-itu saja, tak ada yang baru,” paparnya.

Tak ketinggalan, ia juga memberikan contoh infrastruktur jalan tol yang selama ini banyak dibangun pemerintah. Beberapa jalan tol yang dibangun di Sumatra misalnya, memiliki multiplier effect ekonomi yang masih sangat rendah. Biaya pembangunan jalan tol yang mahal dan income-nya rendah, membuat tidak adanya pihak operator di luar pemerintah yang ingin membeli jalan tol tersebut.

“Tiap bulan siapapun yang jadi direktur BUMN pusing. Dia harus membiayai jalan tol yang dibangun karena rugi. Model-model investasi begitu kan tidak boleh dilanjutkan. Karena Sumatra kalau saya bangun jalan tol bukan berfungsi sebagai mobilitas penduduk, tapi ada tidak pergeseran industri ke sana, harus ada roadmap sebagian industri pindah ke Sumatra. Kalau cuman untuk mobilitas penduduk, itu tidak signifikan. Coba lihat Lampung sebelum dan setelah ada jalan tol, pertumbuhan ekonominya tak signifikan karena tidak ada aglomerasi  perpindahan industri ke sana, pindahnya ke Jawa Tengah,” pungkasnya.

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *