Jakarta – Kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) mencuat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani melaporkannya ke Kejaksaan Agung pada Senin, 18 Maret 2024. Sehari kemudian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) malah memulai duluan penyidikan kasus ini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan alasan lembaganya melakukan penyidikan di kasus yang serupa. Dia menerangkan bahwa KPK sudah menerima laporan ini duluan satu tahun sebelumnya atau tepatnya 10 Mei 2023.
“Terus terang saja terkait penanganan perkara ini saya sendiri sudah lupa, itu laporan sudah diterima 1 tahun lalu,” ujar Alex saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, dikutip Rabu (20/3).
Alex menceritakan ketika muncul berita Sri Mulyani melaporkan kasus LPEI ke Kejaksaan Agung, internal KPK bereaksi. Pimpinan KPK, kata dia, menerima laporan dari para pegawai bahwa lembaga antirasuah itu juga sedang menangani laporan dugaan korupsi di LPEI.
“Staf kami menyampaikan ke pimpinan, Pak kita juga sedang menangani perkara ini, mereka meminta dilakukan gelar perkara,” tutur Alex.
Alex mengatakan dalam gelar perkara itu lembaganya menyimpulkan telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi. KPK memutuskan menaikkan kasus ini ke penyidikan. Meski demikian, tak seperti lazimnya penanganan korupsi di KPK, penyidikan dimulai sebelum ditetapkan tersangka.
“Forum itu menyepakati naik ke penyidikan tanpa menyebutkan tersangka,” terangnya lagi.
Adapun dalam perkara tersebut, KPK menduga komite pembiayaan LPEI telah menyalurkan kredit tanpa memenuhi aspek kehati-hatian. Salah satu penyaluran kredit bermasalah itu dilakukan kepada PT PE dalam periode 2015-2017. Jumlah fasilitas kredit yang disalurkan mencapai USD22 juta dan Rp600 miliar.
PT PE yang mendapatkan dana itu belakangan dinyatakan pailit. Mereka tidak bisa mengembalikan total kredit yang diberikan oleh LPEI. KPK menduga negara rugi Rp 766 miliar dari kredit yang tak bisa dikembalikan itu.
KPK menyatakan penyaluran dana ke PT PE hanya 1 dari 6 transaksi yang berakhir menjadi kredit macet. KPK menyebut 2 kredit bermasalah lainnya diduga disalurkan kepada PT RII senilai Rp1,6 triliun dan PT SMJL senilai Rp1,05 triliun.
Inisial PT RII juga muncul dalam laporan yang diserahkan Sri Mulyani ke Kejaksaan Agung. Dalam laporan yang diserahkan Sri Mulyani, total kredit bermasalah ke PT RII mencapai Rp1,8 triliun. Penanganan kasus ini di Kejaksaan Agung baru pada tahap penelaahan.
Alex membantah bahwa KPK dan Kejaksaan Agung sedang rebutan kasus. Dia mengatakan KPK mengumumkan penyidikan kasus ini agar tidak terjadi duplikasi dan tumpang tindih penanganan kasus.
“Oleh karena itu, kami putuskan untuk menyampaikannya ke teman-teman,” tambahnya.
Dia mengatakan akan melalukan koordinasi dengan kejaksaan terkait penanganan kasus ini. Apabila ternyata obyek penyidikan kasus serupa, maka KPK yang memiliki kewenangan untuk menangani kasus tersebut.
“Kalau obyeknya sama tentu kami pasti yang menangani karena kami sudah terbitkan Surat Perintah Penyidikan,” ungkapnya lagi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana mengatakan lembaganya membuka pintu koordinasi dengan KPK. Dia mengatakan telah ada kesepakatan antara kedua lembaga untuk mencegah terjadinya tumpang tindih penanganan kasus.
“Kami terbuka dan tidak mau ada tumpang tindih penanganan perkara di antara Aparat Penegak Hukum sesuai dengan MoU yang sudah kita sepakati,” katanya.
Penulis: Steven Widjaja