Jakarta – Memasuki tahun 2024, ekonomi global masih dihantui ketidakstabilan. Sekalipun beberapa pihak memprediksi ekonomi dunia bakal mulai membaik di akhir tahun ini, ekonomi dunia masih jauh dari kata stabil. Merespons hal tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung, mengungkapkan ada tiga ancaman utama yang dapat membahayakan sistem keuangan nasional akibat instabilitas ekonomi dunia.
Pertama, masih tingginya ketidakpastian ekonomi dan pasar keuangan global. Juda terangkan, dengan inflasi di negara maju yang telah mencapai puncak, ada kemungkinan tren suku bunga tinggi di negara-negara maju, termasuk Amerika Serikat (AS) juga akan mencapai puncaknya dan mengalami penurunan atau pelonggaran suku bunga (easing).
Namun begitu, ketidakpastian terkait waktu dan altitude dari siklus pelonggaran suku bunga itu yang seringkali masih mendorong timbulnya ketidakpastian terhadap kapan berakhirnya skema suku bunga tinggi dalam waktu lama tersebut.
“Kalau lebih cepat penurunannya, tentu saja lebih cepat kondisi suku bunga tinggi ini akan berakhir. Ketidakstabilan itu kemudian menyebabkan aliran modal masuk ke negara-negara emerging market seperti Indonesia itu cenderung agak tertahan di dalam bulan-bulan terakhir ini,” tutur Juda pada sebuah acara seminar di Jakarta, Rabu, 27 Maret 2024.
Di satu sisi, ia katakan, ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia belum menunjukkan tanda-tanda berakhir. Kondisi itu lalu menciptakan fragmentasi perdagangan global yang semakin parah. Ia juga menambahkan kebijakan politik global bisa berubah drastis saat ini dan ke depannya, mengingat 50 persen populasi global tengah mengadakan pemilihan umum, tanpa terkecuali AS, di tahun ini.
“Di Tiongkok, krisis sektor properti dan melemahnya sektor konsumsi menjadi permasalahan utama yang sedang dihadapi. Yang jika tidak ditangani dengan baik, akan berdampak pada melemahnya pertumbuhan ekonomi global, bahkan meningkatnya risiko instabilitas sistem keuangan global,” imbuh Juda.
Ancaman kedua, Juda tegaskan, adalah ancaman dari digitalisasi sektor keuangan. Ia sebut digitalisasi sektor keuangan ibaratkan pedang bermata dua, di satu sisi mempermudah akses, mendorong inklusi keuangan, dan pendalaman pasar keuangan, tetapi di sisi lain berdampak untuk menimbulkan risiko pada sistem keuangan seperti risiko interkoneksi antar lembaga perbankan dan berbagai model bisnis baru yang risikonya belum dikenali sebelumnya.
“Sebagai contoh kasus Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa ada beberapa model bisnis yang risikonya memang belum kita kenali, termasuk dalam risiko digitalisasi adalah risiko cyber attack. Risiko cyber attack ini tak pernah berhenti, dan terus mengancam sistem keuangan dengan dampak sangat signifikan pada SSK (Stabilitas Sistem Keuangan),” jelasnya.
Dampak dari serangan siber itu akan menyasar gangguan operasional layanan keuangan di perbankan seperti layanan transaksi keuangan, yang pada akhirnya bisa menggerus trust atau kepercayaan dari masyarakat terhadap sistem keuangan. Selain itu, ada pula pencurian data yang merugikan institusi keuangan dan konsumen, serta manipulasi data dan transaksi keuangan seperti pencurian dana, yang ujung-ujungnya akan menggerus integritas sistem keuangan dan mengganggu SSK.
Juda lebih lanjut mengatakan, untuk menanggulangi risiko serangan siber, lembaga keuangan perlu mengimplementasikan langkah-langkah keamanan siber yang kuat, meningkatkan kesadaran siber publik, serta berinvestasi pada teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang mampu menghadapi ancaman siber secara efektif.
“Selain itu, kerja sama dan koordinasi antar lembaga keuangan, regulator, dan pihak terkait adalah penting dalam mengelola risiko siber,” tambahnya.
Ancaman terakhir atau ketiga yakni transisi menuju ekonomi hijau. Dalam hal ini, ia katakan, risiko yang dihadapi perbankan ialah risiko transisi dan kebijakan pengurangan emisi karbon, seperti melalui pajak karbon dan sebagainya. Di samping adanya risiko kritik terhadap kemampuan debitur dalam perubahan pasar maupun kebijakan terkait ekonomi hijau, serta risiko reputasi bila kebijakan terkait pengurangan emisi tak dilakukan.
Penulis: Steven Widjaja