Bali – “Kepemimpinan tidak pernah naik dari bangku ke mimbar, tetapi selalu turun dari mimbar ke mimbar.” Begitu lah pernyataan seorang pendeta dan aktivis hak asasi manusia dari Amerika Serikat (AS), Martin Luther King Jr. Pernyataan Martin dari era ’60 an ini tentunya masih menggema dan relate hingga kini. Seorang pemimpin seharusnya memiliki jiwa melayani dan bukan sebaliknya.
Banyak pemimpin dari berbagai bidang yang memiliki dan merealisasikan falsafah kepemimpinan itu dalam kegiatan kepemimpinan mereka, seperti salah satunya yang dikisahkan oleh Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA), Vera Eve Lim. Ia mengalami secara langsung bagaimana mindset leadership tersebut mengubah cara pandang dan behavior-nya terhadap persoalan memimpin.
“Di perusahaan saya sebelumnya yaitu Danamon, pemegang saham barunya saat itu Temasek. Jadi, saya pikir direktur keuangannya pasti dari asing. Nah, entah mengapa saya diminta menjadi Chief Finance Officer (CFO). Waktu itu saya bilang, saya tak punya pengalaman global. Saya tak pernah kerja di luar negeri, sekolah juga bukan dari luar negeri,” tutur Vera saat mengawali kisahnya pada sesi Women’s Talk: The End of Classical Paradigm through Gender Equality and Diversity dari acara Infobank The Most Outstanding Women 2024 in Financial Sector and SOE di Hotel The Stones Kuta, Bali, Sabtu (1/6).
Karena kurangnya pengalaman bekerja dalam lingkup internasional itu, ia sempat mengalami kendala ketika bekerja di perusahaan yang dimiliki oleh asing itu. Dalam suatu peristiwa ia ceritakan, bagaimana dirinya hanya mampu memahami 20 sampai 30 persen saja ucapan presiden direkturnya yang adalah ekspatriat. Situasi ini sontak menjadi halangan baginya untuk bisa bekerja secara optimal.
Ia bahkan sudah menyerah dengan keadaan dan menyarankan agar mencari pengganti lain selain dirinya untuk posisi direktur keuangan. Ia juga mengungkapkan persoalan ini kepada atasannya. Namun, situasi berubah ketika atasannya atau si presiden direktur itu memiliki jiwa melayani dan mendidik.
“CEO-nya namanya Francis. Saya bilang, setiap anda bicara, saya beruntung kalau saya mengerti 20 persen atau maksimum 30 persen. Sisanya I don’t understand, jadi bagaimana saya bisa kerja, saya bisa ikuti. Tau tidak apa yang dilakukannya, dia bilang, mulai besok kamu datang ke ruangan saya setiap sore jam 4,” ujar Vera.
“Ya saya datang bawa catatan kan setiap jam 4 sore. Saya terkejut, dia siapkan empat flipchart. Jadi, saya berdua dengan teman saya ke ruangannya, dan dia ajarkan saya selama satu bulan. Setelah itu, I’ll never come back to him. Di situ saya mengerti kesempatan diberikan ke kita itu satu hal, tapi kedua, kesempatan itu kalau ada orang mau mengembangkan kita,” sambungnya.
Sejak saat itulah dia paham bahwa seorang pemimpin, pada pundaknya, memiliki satu tanggung jawab untuk mengembangkan orang lain. Ia mengatakan, sangat bersyukur bisa mengalami momen tersebut. Jika atasannya di perusahaan dulu tak memberikan kesempatan baginya, dan tidak mau mengajarinya, ia barangkali tak bisa berkembang menjadi seperti saat ini.
“Bayangkan, pakai flip chart. Berarti itu serius banget. Di situlah saya percaya bahwa learning is part of the process. Namun, kalau ada orang melihat kita dan mau menyediakan waktu untuk mengembangkan kita, bagi saya itu adalah suatu aset yang luar biasa. Sehingga sampai saat ini, ada suatu komitmen saya I must develop others. If I’m successful, it means others have to be successful too,” tukasnya.
Ia lalu mengingatkan segenap pemimpin, khususnya di sektor keuangan, untuk tidak lupa mengembangkan orang lain. Sejak peristiwa itu, ia memandang pengembangan SDM adalah salah satu tanggung jawab dan definisi sukses baginya.
Penulis: Steven Widjaja