Ingin Jadi Negara Maju di 2045, Perlunya Kebijakan Strategis Tuk SDM

Ekonom senior INDEF, Aviliani di acara Diskusi Publik INDEF, Kamis (23/11). (Foto: Tangkapan layar Zoom)

Jakarta – Visi Pemerintah Indonesia untuk menjadi negara maju pada 2045 tentunya memerlukan banyak effort. Pembangunan ekonomi hingga reformasi hukum dan birokrasi menjadi tolak ukur dalam keberhasilan mewujudkan Indonesia maju pada 2045.

Selayaknya transformasi pada umumnya, unsur sumber daya manusia atau SDM memainkan peran sangat krusial untuk mewujudkan visi Pemerintah Indonesia tersebut. Sumber daya manusia bahkan menjadi fondasi untuk menjadikan Indonesia negara maju di 2045, mengingat SDM yang unggul lah yang akan melakukan transformasi pada segala sektor.

Menanggapi hal itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, menyatakan jika diperlukan kebijakan strategis dalam mewujudkan SDM Indonesia yang unggul ke depannya. Ia bahkan mewanti-wanti para capres-cawapres yang bakal berlaga di ajang Pilpres 2024 untuk tidak menggunakan isu pengentasan stunting sebagai kebijakan populis semata.

“Kemarin waktu berdiskusi dengan para capres, rata-rata membicarakan stunting, rata-rata bicara soal kemiskinan. Tapi saya melihat belum fokus, makanya para capres jangan menjadikan masalah ini sebagai kebijakan yang populis, namun harus berbicara soal lima, sepuluh, bahkan dua puluh lima tahun ke depan di mana kita punya struktur sumber daya manusia yang lebih baik,” ucapnya pada Diskusi Publik INDEF virtual bertema “Mencari Presiden RI 2024-2029 yang Sayang Anak”, Kamis, 23 November 2023.

Lebih lanjut, Aviliani menjelaskan bila kebijakan untuk wujudkan SDM Indonesia yang unggul bisa dimulai dari kampanye pola hidup sehat karena sangat berdampak bagi wanita yang belum menikah. Pola hidup sehat yang termasuk pola makan sehat ini bakal menopang kesehatan gizi para calon ibu di Indonesia.

Langkah berikutnya kemudian menyasar bagi mereka yang sudah mulai menikah dan mulai hamil. Masa kehamilan ini dinilainya paling penting, khususnya terkait dengan pola makan sehat yang terkorelasi langsung pada kesehatan janin di dalam kandungan.

“Karena dana stunting itu kebanyakan jumlahnya tidak terlalu besar, kemudian juga tidak bisa sampai lahir. Harusnya, dari masa kehamilan sampai anak itu berusia tiga tahun itu terus mendapatkan gizi, sehingga bisa dipantau secara jelas bahwa mereka tidak terkena stunting,” terang Aviliani.

“Maka dari itu, ini perlu diubah, bukan hanya soal anggarannya saja, tapi juga pola supervisi terhadap ibu hamil maupun balita umur tiga tahun. Jadi, bagaimana anggaran itu bisa diberikan dari ibu hamil sampai anak lahir,” tambahnya.

Ia lalu menyarankan agar segala hal terkait penanganan stunting jangan semuanya dilimpahkan pada pemerintah. Karena jika hal itu terjadi, ia jelaskan, anggaran yang ada lebih banyak tersalurkan untuk rapat dan menjadi tidak tepat sasaran. Menurutnya, alangkah lebih baik bila pihak swasta maupun organisasi lainnya seperti Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diajak kolaborasi dalam penanganan masalah stunting di Indonesia.

Terkait dana pemerintah yang terbatas, ia menyarankan agar hal itu bisa dibantu oleh program CSR, environmental social governance (ESG) milik korporasi. Gabungan antara anggaran pemerintah dengan dana dari program ESG perusahaan swasta dinilainya cukup besar dalam mengurangi angka stunting di Indonesia.

Senada dengan Aviliani, Wahyu Utomo selaku Kepala Pusat Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (PKAPBN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF), menyampaikan bahwa yang paling terpenting dari sebuah anggaran, selain meningkatkan besaran jumlah, juga adalah meningkatkan akurasi alokasi anggaran.

“Kalau kita meyakini bahwa untuk memperkuat SDM itu harus dimulai dari usia dini karena usia tersebut adalah usia emas, seharusnya alokasinya mulai digeser untuk sifatnya yang usia emas tadi, termasuk langkah pencegahan, imunisasi, dan sebagainya,” tuturnya.

Sebagai informasi, Statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting, di mana 6,3 juta di antaranya merupakan anak usia dini atau balita di Indonesia. Menurut UNICEF, stunting disebabkan anak kekurangan gizi dalam dua tahun usianya, ibu kekurangan nutrisi saat kehamilan, dan sanitasi yang buruk.

Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI telah mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang menunjukkan penurunan prevalensi stunting di Indonesia dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022. Pemerintah sendiri menargetkan prevalensi stunting di Indonesia bisa mencapai angka 14% di 2024.

“Oleh sebab itu, target yang saya sampaikan 14% di tahun 2024 ini harus bisa kita capai. Saya yakin dengan kekuatan kita bersama semuanya bisa bergerak. Angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama,” ucap Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rapat Kerja Nasional BKKBN di awal tahun ini.

Penulis: Steven Widjaja

Recommended For You

About the Author: Ari Nugroho

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *